Assessing the benefits of flat tax on businesses, the jakarta post, 28 July 2005

Assessing the benefits of flat tax on businesses

Opinion & Editorial, The Jakarta Post, 28 July 2005

Agam Fatchurrochman, Nottingham, UK

The writer is studying at Nottingham University Business School in Britain. He can be reached at lixaf2@nottingham.ac.uk

Today’s hot topic in the business community is that the government is getting ready to revise the tax laws of 2000, particularly regarding the proposal for applying a flat tax rate to provide business and fiscal incentives for public companies.

The flat rate, as proposed, would be set at 30 percent while public companies would be taxed at 20 percent to 25 percent.

However, the flat tax proposal is still receiving mixed responses. Some positively accept the proposal, citing the tax simplicity, but others argue that the scheme is not sufficient to cope with the tax simplification objective and global tax competition.

The main feature of a sound flat tax system is simplicity, by removing all kinds of relief and allowances, thus creating a simple system of taking total revenue and subtracting three kinds of payments, purchases of inputs, wages and pensions, as well as plant and equipment expenditures.

By simplifying tax procedures, the transaction costs, which are quite significant in collecting tax, can be reduced. By eliminating allowances and fiscal incentives, the flat tax gets rid of all tax lobbyists, negotiation and extortion and the bureaucrats needed to interpret them.

The second feature is to provide an investment-friendly climate for domestic and foreign investors. Combined with a lower tax rate, the scheme then encourages capital formation and productive activities.

The third feature is lowering the opportunity costs for avoiding taxes. Under a flat tax, business is less willing to cheat and risk being audited by the tax office. In addition, the government spends less money on monitoring and auditing in a simpler fiscal system.

In a global economy in which investors freely move across country borders, a simple fiscal system attracts global businesses. In turn, foreign investments further boost an economy with a simple, efficient fiscal system. As a result of a more dynamic economy and less tax evasion, the government actually collects more revenue.

One of the most cited examples is in Ireland, although not fully applying a flat tax, it has slashed its corporate tax rate from 50 percent to 12.5 percent. Combined with other tax cuts, this helped turn the “sick man of Europe” into the “Celtic Tiger” with unemployment rates dropping from 17 percent a decade ago to 5 percent.

Flat tax is gaining popularity among small and open economies. But even such big countries as Russia have dumped the progressive tax system and replaced it with a 13 percent flat tax. This new system took effect in 2001 and already has boosted economic growth and tax compliance.

Subsequent tax reforms after 1984 have created a more complex tax system in Indonesia, and therefore a lot of room for interpretation and extortion, by reintroducing many concessions, which had been revoked in the 1984 reform.

Coupled with corrupt tax auditors, businesses bear the high compliance costs, which are the value of resources expended by taxpayers in meeting their tax obligations, such as costs of maintaining tax records, hiring tax consultants and, in the case of Indonesia, costs for servicing corrupt tax auditors.

Therefore, the introduction of a flat tax scheme is turning the time back to the original tax reform.

Although the proposal for a flat tax rate has not been fully revealed yet, there are several features at least, which should be considered so as to fully utilize the flat tax features.

First, the proposed rate of 30 percent is considered too high compared to neighboring countries. For example, Malaysia and Vietnam are taxing business at 28 percent, Singapore at 25 percent and Hong Kong at a 16 percent flat tax.

It is obvious that the fiscal regime is not the sole feature of an investment-friendly economy. But with the lack of infrastructure, an unskilled workforce and a corrupt bureaucracy, the proposed rate might jeopardize our efforts to attract more foreign direct investment.

Furthermore, to cope with regional tax competition, the government might be forced to provide various fiscal incentives and obviously this will destroy the spirit of simplicity.

Second, the proposed rate of 30 percent appears to be just a way to remove the existing marginal rates (10 percent, 15 percent and 30 percent) and settling on the maximum rate, but the rest of the system remains intact. That proposal would maintain all tax relief rules, and so allowances and concessions would still by expected from lobbyists. Consequently, business still has to bear the high costs of compliance

Third, under a flat tax with a high rate and a complex system, there is still an incentive for evading the system. This, in turn, will compel the government to maintain high administrative costs of tax collection for monitoring and auditing taxpayers.

The next tax reform has to be designed to reduce the transaction costs of transferring resources to the public sector, that is, reducing the scope for corruption in tax collection. But although the tax system can be redesigned in ways that hamper corruption, still no purely technical redesign can wholly eliminate collusion.

Switching from a progressive fiscal system to the flat tax is a very radical reform and has to be carefully managed. By conforming to the basic features of a flat tax, lower rates and simplicity, it is expected that we can achieve economic efficiency, and fairness in the tax collection. This in turn will provide a healthy fiscal environment required to advance the economy, by generating new business and attracting foreign investment.

Teror Bom London 21 Juli: A Personal Account

Teror Bom London 21 Juli: A Personal Account

Baru kali ini kami mengalami kengerian dan ketidakpastian yang dirasakan Londoners tepat dua minggu sebelumnya. Jika sebelumnya kami hanya menyaksikan melalui televisi, Kamis 21 Juli kemarin, kepanikan Londoners akibat dihentikannya beberapa rute tube, macetnya jalan karena banyak yang di blokade polisi dan ketidakpastian apa yang tengah berlangsung, langsung kami rasakan.

Tujuan utama kami sebenarnya adalah Kedutaan Belanda untuk urusan visa yang dilanjutkan dengan berbelanja ke Harrods (belanja teh maksudnya) dan melancong ke London Tower, Covent Garden dan Trafalgar Square.

Siang itu sebenarnya banyak kios koran yang memajang pengumuman bahwa ada “new bombing alerts in tube”, tapi karena berpegang pada prinsip bahwa ‘terrorist do not alert, they just bomb’, kami mengacuhkan pengumuman ini.

“Ah, ini hanya hoax saja, kayak di Birmingham minggu lalu, atau ancaman bom palsu yang sering menimpa gedung tempat saya bekerja di Jakarta, yang banyak UN agencies” demikian kata saya ke Tia.

Dari Harrods kami hendak ke London Tower, tapi rute tersingkat ternyata tidak beroperasi. Terpaksa memutar. Sekitar jam 2.30, setelah London Tower, kami menuju Covent Garden. Berharap naik tube, line Covent Garden juga ditutup tanpa penjelasan. Kami masih santai, “Mungkin sisa pemboman dua minggu lalu” kata Tia ke saya.

Setelah jalan beberapa saat, kami memutuskan naik bis. Baru berjalan beberapa ratus meter ke arah Katedral St. Paul, diantara dua lokasi bom bunuh diri yang gagal di Warren Street dan Hackney Road, tiba-tiba banyak polisi bersepeda, berkuda, sirine mobil polisi meraung-raung, helikopter terbang rendah, memblokade jalan tersebut.

Semua penumpang diminta turun. Bis dan mobil ditinggal begitu saja. Pejalan kaki dan semua penghuni gedung dievakuasi. Baru kami paham pengumuman di kios koran tadi.

Seorang yang membawa kamera, tampaknya wartawan, yang tidak mengindahkan peringatan dan hendak berjalan ke arah jalan yang diblokade, dihardik oleh polisi, “Mind your own life!”.

Lalu lintas kacau. Pejalan kaki kebingungan. Bis terpaksa berimprovisasi dari rute sebenarnya. Kami memutuskan naik bis menuju Victoria Station. Lho, kok memutar balik ke stasiun bis Liverpool Street?.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Bis kami berjalan lambat ke arah Victoria. Sesampainya kami membeli koran edisi ekstra (“paper late-cried a voice in the crowd” kata Genesis), ternyata ada empat percobaan bom bunuh diri sekitar pukul 12.30 tadi siang. Ahamdulillah, saat itu kami sedang di Harrods, menikmati pusat belanja mewah bersama ibu-ibu Arab dengan jubah panjangnya.

Shareholder Activism: Balancing The Power Between Market And Society

Shareholder Activism:
Balancing The Power Between Market And Society

Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan Media Inovasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta No 1 Th XIII/2003 ISSN 0215-7160

Agam Fatchurrochman
Programme Manager di Partnership for Governance Reform in Indonesia. Pernah belajar tentang shareholder activism dan corporate governance di Korea Selatan.

Sejak medio 80-an, dunia menyaksikan pergeseran peranan negara atau sektor publik dalam ekonomi. Secara revolusioner ideologi kanan baru di Inggris dan Amerika Serikat yang menjadi landasan utama kebijakan ekonomi dan politik mereka meluas keseluruh dunia. Ideologi ini berpusat pada mekanisme pasar sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah, mengurangi peranan sektor publik dan memperbesar kapasitas pasar. Implementasi ideologi ini secara kongkret adalah gelombang privatisasi BUMN dari berbagai industri, termasuk public utilities yang tadinya dianggap kewajiban negara.

Dengan demikian segitiga klasik yang selalu dipakai untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan antara tiga aktor dalam suatu lingkungan, sektor publik atau negara, pasar atau korporasi, serta masyarakat secara perlahan mulai berubah, terutama dalam pelaksanaan tugas negara dalam bidang public utilities.
Secara singkat, sektor publik yang diwakili negara selalu diasosiasikan tugasnya untuk memberikan jaminan atas penyediaan peraturan, infrastruktur ekonomi dan fisik, keamanan dan perdamaian. Sedang pasar yang diwakili korporasi ditugaskan untuk menyediakan lapangan kerja dan pemasukan bagi negara, serta barang dan jasa bagi masyarakat. Masyarakat sendiri diharapkan dapat menyediakan tenaga kerja bagi pasar dan pemasukan kepada negara.

Gelombang privatisasi serta bangkitnya ekonomi dunia yang didorong oleh investasi besar-besaran di sektor riil maupun keuangan, semakin memperkecil peran sektor publik dalam sumbangannya terhadap penciptaan kue ekonomi. Porsi korporasi ini semakin besar dan ini tidak terhindarkan. Korporasi akhirnya menjelma menjadi negara dalam negara. Bahkan dalam MNCs, korporasi mampu menjadi negara yang melintasi batas-batas geografis suatu negara. Korporasi mempunyai konstitusi tersendiri, kabinet dan struktur pemerintahan sampai tingkat terbawah sendiri, warga negara sendiri dengan kartu identitas tersendiri, serta public utilities sendiri. Perusahaan pertambangan Rio Tinto yang berasal dari Australia, misalnya beroperasi lintas negara. Operasinya di Indonesia berada di berbagai daerah, bahkan PT Kaltim Prima Coal, salah satu anak perusahannya, menjadi motor penggerak kabupaten Kutai Timur.

Peranan korporasi dalam ekonomi yang besar itu sayangnya tidak diikuti oleh perubahan pandangan sektor masyarakat. Dalam berbagai hal, masyarakat masih asyik berkutat mempermasalahkan fungsi negara dan melupakan relasi masyarakat – korporasi. Padahal potensi penyimpangan perilaku korporasi dapat mengguncangkan sendi-sendi kemasyarakatan. Contoh yang paling mudah adalah dalam berbagai isu yang menyangkut perilaku korporasi, masyarakat yang seringkali diwakili LSM, masih terus menuntut intervensi negara untuk menyelesaikan. Padahal dalam kondisi ekonomi negara melemah dan korupsi merajalela, mengharapkan negara memihak masyarakat adalah suatu kemustahilan.

Berbagai buku manual advokasi –misalnya buku “Merubah Kebijakan Publik” yang diterbitkan ReaD Yogyakarta dan sangat berpengaruh dikalangan LSM dan mahasiswa– masih berpusat pada merubah kebijakan publik atau negara, meski seringkali menyangkut perilaku korporasi. Buku ini merefleksikan pandangan kiri bahwa intervensi negara dalam semua hal adalah mutlak. Secara tradisional, kalangan kiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan selalu berpaling ke negara untuk intervensi, termasuk intervensi negara untuk mempengaruhi perilaku korporasi. Sedangkan kaum kanan berpegang pada inisiatif individual, perusahaan dan pasar, bekerja dengan prinsip kesukarelaan yang bekerja dalam sistem kapitalis, untuk mencapai kondisi sosial, politik dan etis yang diharapkan tanpa bergantung pada intervensi negara.

Salah satu contoh klasik di Barat tentang perbedaan kiri – kanan ini adalah dalam menyikapi apartheid di Afrika Selatan tahun 70 – 80’an. Kalangan kiri selalu menuntut adanya sanksi ekonomi dan diplomatik pemerintah dan dunia internasional atas Afrika Selatan. Sementara kaum kanan –yang diwakili para investor pasar modal– mendorong perusahaan terbuka Amerika untuk tidak berinvestasi dan tidak memberikan lisensi bisnis ke Afrika Selatan. Tuntutan ini berhasil pada pertengahan 80-an ketika hampir semua perusahaan terbuka AS sudah menarik diri dari Afrika Selatan.

Jika kekuatan ekonomi-politik-sosial korporasi sudah sedemikian besar, sudah seharusnya pula masyarakat, termasuk aktor ekonomi rakyat dan berbagai kelompok kepentingan lainnya, menyeimbangkan relasi kekuasaan antara pasar dan masyarakat, balancing the power between market and society.

Stakeholders

Sejarah perkembangan korporasi beserta kekuatan ekonomi-politik-sosial ini secara umum dapat ditelusuri sebagai berikut:

1. Perusahaan kecil. Perusahaan semacam ini biasanya merupakan perusahaan keluarga, dimana pimpinan adalah kepala keluarga dan mempekerjakan anak atau saudara. Permodalannya masih dipenuhi sendiri dan belum mengenal pemisahan harta pribadi dan usaha, badan hukum seringkali tidak ada, masih perusahaan perseorangan, persekutuan modal atau CV. Dengan demikian kewajiban perpajakannya (paling tidak NPWP/Nomor Pokok Wajib Pajak) masih menjadi satu dengan pemilik. Transaksi kebanyakan masih tunai dan rekanan bisnis masih terbatas. Urusan dengan bank hanya sebatas menyimpan, bukan meminjam. Belum mengenal sistem akuntansi akrual, hanya pencatatan jual beli saja.

2. Perusahaan menengah. Perkembangan berikutnya ketika transaksi sudah cukup besar dan manajemen semakin kompleks, usaha mulai diformalkan dalam badan hukum, memakai sistem akuntansi akrual, serta NPWP tersendiri. Seringkali juga mulai mengenal pemisahan manajemen, dimana peran keluarga semakin mengecil digantikan oleh manajer non pemilik. Untuk memenuhi kebutuhan modal, bank mulai dilirik menjadi kreditur. Rekanan bisnis juga semakin banyak dan sistem perdagangan mengenal kredit, sehingga mempunyai debitur.

3. Enterprise, atau perusahaan besar dan seringkali adalah MNCs, sudah menguasai hajat hidup orang banyak dan menjelma menjadi negara dalam negara. Karena kekuatan ekonominya, kebijakan pemerintah pun dapat dipengaruhinya.

Perusahaan sekelas enterprise inilah yang perilakunya dapat menggoncangkan masyarakat dan negara. Disinilah kita relevan menyebut stakeholders atau Pihak Yang Berkepentingan, sebagai perluasan dari shareholders, pemegang saham perusahaan. Stakeholders korporasi ini secara umum dapat dibagi ke 7 kelompok, yaitu: (1) owners, yaitu pemegang saham; (2) lenders, para pemberi pinjaman, termasuk bank dan pemegang obligasi; (3) human resources, para karyawan perusahaan, terutama yang tergabung dalam serikat pekerja; (4) business contacts, para pelanggan, penyelia, pesaing, dan rekanan bisinis lain; (5) government/regulatory, pemerintah pusat dan daerah serta lembaga kuasi pemerintah lainnya; (6) general public, para pembayar pajak, masyarakat yang berkepentingan –termasuk masyarakat sekitar perusahaan– dan pressure groups; dan (7) natural environtment, para kelompok yang mewakili kepentingan lingkungan.

Perusahaan semacam PT. Barito Pacific Timber Tbk (BRPT) adalah contoh menarik bagaimana enterprise ini beroperasi dengan 16 anak perusahannya dan pemasarannya yang menjangkau Asia, Eropa, Timur Tengah dan bagian dunia lainnya. Dengan aktiva 6 triliun, penjualan 1,8 triliun, pembayaran pajak 134 miliar, menghidupi 18 ribu karyawan serta luas HPH 1,3 juta hektar, BRPT beroperasi di Kalimantan Barat, Tengah, Selatan dan Timur, Sumatera Selatan, Papua, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara dan Utara. Dengan demikian stakeholders-nya sangat luas, mulai dari pemerintah (pajak, Dana Reboisasi, pajak daerah, dll), pemegang saham (diantaranya 4% oleh PT.
Taspen (persero), pengelola asuransi dan pensiun pegawai negeri, dan 36% oleh publik), karyawan, dan masyarakat, termasuk masyarakat sekitar perusahaan, yang kebanyakan masyarakat adat di daerah HPHnya.

Jika perusahaan semacam BRPT yang sangat kuat lobi dan pengaruhnya ini berperilaku buruk, membahayakan lingkungan, menggusur masyarakat adat, mendukung illegal logging dan membahayakan investasi PT. Taspen, siapakah yang dapat mencegahnya? Sebagian orang tergoda dengan mengatakan BRPT perlu menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) dengan konsekuen. Tetapi jika undang-undang saja bisa ditabrak, apalagi prinsip GCG yang hanya voluntary saja.

Konsep GCG pada intinya adalah, pertama, internal balance antar organ perusahaan RUPS, Komisaris dan Direksi dalam hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut. Kedua, external balance, yaitu pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat dan stakeholders.
Dari 13 prinsip GCG yang dirumuskan Komisi Nasional Kebijakan Corporate Governance, delapan diantaranya menyangkut internal balance, seperti: Pemegang Saham dan RUPS; Dewan Komisaris dan komite pendukungnya; Direksi; Sistem Audit; Sekretaris Perusahaan; Keterbukaan; Kerahasiaan; dan Informasi Orang Dalam. Sedang 5 isu lainnya hanya disinggung secara singkat yaitu: Pihak Yang Berkepentingan (Stakeholders); Etika Berusaha dan Anti Korupsi; Donasi; Kepatuhan pada Peraturan Perundang-Undangan tentang Proteksi Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Pelestarian Lingkungan; dan Kesempatan Kerja Yang Sama.

Hal ini sebenarnya menggambarkan bahwa stakeholders memang kedudukannya dibawah shareholders. Apalagi kedudukan shareholders juga dijamin dengan UU Perseroan Terbatas dan Pasar Modal. Jika demikian, mengapa stakeholders yang lemah posisinya tidak menjadi shareholders saja?

Shareholders

Dari 7 stakeholders diatas, tiga diantaranya lemah posisinya dihadapan perusahaan, yaitu karyawan, masyarakat sekitar perusahaan dan kelompok lingkungan. Karyawan, apalagi jika serikat pekerja lemah dan tidak mempunyai KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) hanya akan menjadi faktor produksi saja tanpa ada kesempatan mengembangkan kapasitas dirinya. Masyarakat sekitar perusahaan juga lemah karena perusahaan lebih tertarik membeli hubungan dengan para pejabat pemerintah pusat dan daerah. Kemudian kelompok yang memperjuangkan lingkungan yang bersih dan layak, seringkali dikecewakan karena perusahaan lebih memilih menekan biaya pemulihan lingkungan karena dianggap tidak mempunyai manfaat ekonomi di masa depan.

Meski di Indonesia tiga pihak ini kedudukannya lemah karena tidak mempunyai jalan non konvensional dalam memperjuangkan kepentingannya, sebenarnya melihat pengalaman internasional terdapat jalan untuk menaikkan posisi tawarnya dan mempengaruhi perilaku perusahaan, yaitu melalui kepemilikan langsung atas saham perusahaan yang sudah terbuka di pasar modal.

Jika tiga stakeholders tersebut menjadi pemilik perusahaan dengan membeli saham perusahaan terbuka (seperti porsi pekerja pada saham perusahaan media menurut UU Pokok Pers), maka mereka akan mempunyai:

• Hak untuk menghadiri dan memberikan suara dalam suatu RUPS, berdasarkan ketentuan satu saham memberi hak kepada pemegangnya untuk mengeluarkan satu suara;
• Hak untuk memperoleh informasi material mengenai perusahaan, secara tepat-waktu dan teratur, agar pemegang saham dapat membuat keputusan penanaman modal berdasarkan informasi yang dimilikinya; dan
• Hak untuk menerima sebagian dari keuntungan perusahaan yang diperuntukkan bagi pemegang saham, sebanding dengan jumlah saham yang dimilikinya, dalam bentuk dividen dan pembagian keuntungan lainnya.

Tiga stakeholders tersebut juga mempunyai andil dalam pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan, penetapan gaji dan tunjangan anggota Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan, dan penilaian kinerja mereka.

Stakeholders juga dapat mempunyai akses ke beberapa komite yang dapat dibentuk oleh Dewan Komisaris, yaitu: Komite Nominasi untuk menyusun kriteria seleksi dan penilaian bagi anggota Dewan Komisaris, Direksi dan para eksekutif lainnya; Komite Remunerasi yang menyusun sistem remunerasi beserta opsi-opsinya, a.l. opsi karyawan atas saham; Komite Asuransi yang melakukan rekomendasi tentang jenis dan jumlah asuransi yang ditutup oleh perusahaan; serta Komite Audit yang mendorong terbentuknya struktur pengawasan internal yang memadai, meningkatkan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan, dan audit eksternal.

Di beberapa negara sudah lazim diterapkannya ESOP (employee stock option plan). Tetapi sayangnya ESOP ini lebih banyak ditawarkan ke eksekutif perusahaan sebagai bagian dari remunerasi mereka jika mencapai target tertentu. ESOP ini juga yang didakwa salah satu penyebab skandal Enron, dimana eksekutif Enron dengan ESOP mencoba memaksimalkan kenaikan harga saham dalam jangka pendek.

Shareholder Activism

Upaya menyeimbangkan relasi kekuasaan antara korporasi dan stakeholders melalui mekanisme pasar modal ini disebut sebagai shareholder activism (SA). SA di Asia diperkenalkan oleh Participatory Economy Committee (PEC) –sebuah kelompok dibawah LSM terkemuka Korea Selatan People’s Solidarity for Participatory Democracy– yang aktivisnya terdiri dari profesor keuangan dan hukum, pengacara pasar modal, akuntan publik, dan analis pasar modal. PEC mendefinisikan SA sebagai gerakan untuk memperkuat nilai dan kedudukan pemegang saham minoritas, mengawasi praktek bisnis tidak wajar dan korupsi, serta mereformasi chaebol dengan memanfaatkan mekanisme pasar modal.

Praktek bisnis tidak wajar ini diantaranya adalah banyaknya transaksi chaebol yang melanggar berbagai peraturan pasar modal untuk menguntungkan manajemen atau pendiri dan sebaliknya merugikan pemegang saham lainnya serta kepentingan negara dan masyarakat luas. Sejak 1997 PEC mulai bergerak dengan membeli beberapa saham chaebol terbesar yang sudah masuk bursa dengan rata-rata kepemilikan saham hanya beberapa lot. Meski minoritas, PEC mempunyai hak sejajar dengan pemegang saham lainya, seperti meminta informasi material perusahaan, hadir dalam RUPS, masuk ke dalam Komite Audit, Komite Nominasi Eksekutif, memeriksa keputusan rapat direksi dan komisaris, mempertanyakan corporate action yang merugikan pemegang saham minoritas, dsb.

Secara sistematis, PEC menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan perusahaan. Hal ini dilakukan dengan (1) mengikuti RUPS, (2) mengajukan usulan dan agenda sebagai pemegang saham, pra maupun di RUPS, (3) mengumpulkan proxy dari pemegang saham lain, dan (4) mendesak diadakannya RUPS luar biasa.
Dalam RUPS Korea First Bank misalnya, PEC menggelar proxy solicitation rally di jalanan untuk menghadiri RUPS. RUPS ini diadakan a.l. untuk mengesahkan keputusan direksi memperbesar kredit ke Hanbo Steel yang macet. Karena itu PEC dengan pemegang saham minoritas lain mempertanyakan keputusan manajemen tersebut dalam RUPS. Tetapi RUPS dirancang sedemikian rupa untuk mengesahkan keputusan manajemen dan mengurangi hak bicara pemegang saham minoritas lainnya.

Kedua, melakukan langkah preventif dan mengawasi perilaku manajemen. Hal ini dilakukan dengan (1) memeriksa pembukuan dan catatan perusahaannya atau menujuk pemeriksa khusus, (2) meminta penghentian keputusan ilegal dan tidak wajar manajemen, dan (3) menggugat untuk mencegah dilakukannya keputusan ilegal dan tidak wajar manajemen.

Memeriksa catatan perusahaan ini berguna untuk, pertama, pemegang saham memperoleh gambaran kritis dalam menghadapi RUPS. Kedua, menekan manajemen menghentikan keputusan ilegal,berbenturan kepentingan atau tidak wajar. Dalam kasus Samsung Electronics, PEC meminta notulensi rapat komisaris dan direksi karena SE mendukung Samsung Motor secara ilegal. Notulensi rapat direksi yang seharusnya dapat diakses PEC ternyata tidak diberikan. PEC kemudian menggugat direksi untuk mendapatkan notulensi tersebut. Pengadilan mengabulkan gugatan ters
ebut beserta kompensasi 3 juta won.

Ketiga, memaksa manajemen bertanggung jawab atas perilakunya, yang dilakukan dengan (1) gugatan atas nama perseroan (derivative action), (2) melakukan pengaduan administratif dan pidana ke otoritas pasar modal atau kejaksaan, (3) meminta dihentikannya pejabat perusahaan yang bertanggung jawab atas kasus tertentu.

Dalam kasus KFB, PEC bersama 61 pemegang saham lainnya mengajukan gugatan derivative dengan tuntutan kompensasi 40 miliar won kepada mantan direksi KFB karena mendapatkan suap dalam memberikan kredit ke Hanbo yang menyebabkan kerugian besar KFB. Pengadilan memenangkan sebagian gugatan PEC, membatalkan keputusan RUPS dan menyatakan bahwa RUPS tidak melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Juga Februari lalu, putra pemilik SK Telecom ditahan karena disangka melakukan perbuatan pidana pasar modal berkat pengaduan dari PEC ke kejaksaan Korsel.

SA ini membuahkan banyak penghargaan. Pada 2001, PEC menerima penghargaan dari ICGN Award, penghargaan prestisius dari International Corporate Governance Network yang mereprentasikan investor institusional dengan aset lebih dari $6 triliun di Tokyo. Meski minoritas PEC sangat ditakuti chaebol. Bahkan pada 1999, 5 chaebol sasaran advokasinya menyelenggarakan RUPS di hari yang sama untuk mencegah aktivis PEC menghadiri RUPS mereka.

Sejarah Shareholder Activism

Sejarah SA ini bisa ditelusuri dari beberapa fase:

1. Kelahiran Hak Pemegang Saham.
Fase ini ditandai dengan disahkannya the Securities Act of 1933 and 1934, yaitu UU pasar modal di Amerika Serikat yang merupakan peletak dasar kewajiban public disclosure informasi perusahaan dan perlindungan investor.

2. Socially-Oriented Shareholder Activism.
Salah satu tonggaknya adalah Interfaith Center for Corporate Responsibility di AS yang didirikan investor dari lembaga keagamaan pada 1970-an. Salah satu kegiatannya adalah menggunakan SA untuk berkampanye anti apartheid, mendorong isu lingkungan, kesehatan dan militer.

3. Corporate Governance Activism.
Pada 1980-an SA mulai digunakan untuk mendesakkan penerapan good corporate governance, terutama perlindungan hak pemegang saham minoritas dan struktur governance perusahaan. Pada 1985 misalnya didirikan Council for Institutional Investors (CII) yang anggotanya terdiri dari dana pensiun, asuransi dan investor institutional lainnya. Tujuannya adalah memaksimalkan return dengan berinvestasi pada perusahaan yang menerapkan GCG.

4. Investor-Environmental Alliance.
Pada 1989 setelah tragedi pecahnya tanker Exxon Valdez, kalangan investor dan aktivis lingkungan mendirikan Coalition for Enviromentally Responsible Economies (CERES) yang menerapkan SA untuk mendorong pengungkapan informasi lingkungan, pengadopsian prinsip lingkungan dan standar laporan tahunan lingkungan perusahaan terbuka. Selain itu LSM lingkungan seperti Greenpeace dan Friends of the Earth sangat aktif memanfaatkan SA untuk mengadvokasikan kasus lingkungan yang menyangkut perusahaan terbuka. Greenpeace misalnya mengadvokasikan masalah pemanasan global dan punahnya beruang kutub sebagai dampak proyek eksplorasi minyak di Laut Arktik di RUPS BP Amoco.

Dewasa ini SA digunakan sebagai salah satu cara yang efektif mempengaruhi perilaku perusahaan terbuka. Para sharehoder activists ini dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Institutional investors, biasanya dana pensiun dan asuransi yang bertujuan memaksimalkan investasi mereka pada perusahaan yang menerapkan GCG. Kelompok ini sebagian sudah mengadopsi prinsip socially responsible investing.

2. Individual investors, yaitu investor perorangan dan mempunyai kepentingan sama seperti institutional investor dan mengadopsi prinsip socially responsible investing.

3. Interest groups, yaitu berbagai kelompok kepentingan semacam LSM, aktivis lingkungan, masyarakat adat, yang bertujuan untuk mendorong kepatuhan pada hukum dan mengubah perilaku perusahaan agar mempedulikan aspek keadilan sosial, yang pada jangka panjang akan menguntungkan perusahaan, negara dan masyarakat.

Satu hal yang sering dipertanyakan adalah: bagaimana mungkin investor –terutama institutional dan individual yang sering dikategorikan kaum kanan– dengan kepentingan memaksimalkan return dapat terlibat dalam socially responsible investing? Bukankah ini bertentangan dengan prinsip dasar kapitalisme untuk memaksimalkan laba? Sebaliknya, berbagai kelompok kepentingan yang seringkali LSM radikal dan dikategorikan kalangan kiri, mengapa mereka terlibat dalam dunia pasar modal? Ikut memiliki korporasi yang merupakan penerapan dari kapitalisme, kebebasan, dan maksimalisasi modal?

Jawabannya adalah bahwa masalah sosial, politik dan etis seperti apartheid, korupsi, kemiskinan, gender, lingkungan, dll, adalah masalah universal kemanusiaan. Semua pihak berkepentingan atas kualitas kehidupan yang lebih baik, baik kaum kiri maupun kanan, di negara maju maupun berkembang.
SA adalah metode dimana institutional investors, individual investors dan interest groups, dengan beragam ideologi bertemu untuk mendesakkan perubahan perilaku korporasi secara langsung. Inilah salah satu alasan SA perlu dikembangkan di Indonesia oleh gerakan sosial, LSM dan para pembela rakyat.

Penerapan SA di Indonesia

Kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya. Banyak konglomerat hitam yang sudah masuk bursa, mengeruk dana masyarakat tetapi masih dikendalikan oleh keluarga pendirinya dan tetap melakukan praktek bisnis tidak sehat yang merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Menilik pengalaman internasional, justru hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendesakkan isu-isu ekonomi politik dan sosial mekanisme pasar modal.

Hal ini dapat dilakukan karena pasar modal adalah industri yang highly regulated, diatur dengan UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Bapepam dan BEJ serta peraturan lainnya. UU Perseroan Terbatas misalnya mengakui hak pemegang saham minoritas dalam derivative action, seperti hak mengajukan gugatan (pasal 54 (2)), hak meminta diadakan RUPS (pasal 66, 67), hak menuntut direksi atau komisaris karena melakukan kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan perseroan menderita rugi (pasal 85 (3), 98 (2)) atau hak meminta pengadilan untuk melakukan pemeriksaan terhadap perseroan (pasal 110-113). Dalam UU Pasar Modal juga diatur pemegang saham dapat menuntut ganti rugi sebagai akibat pelanggaran UU PM (pasal 111). Pemegang saham juga berhak atas catatan perusahaan seperti Anggaran Dasar, riwayat hidup direksi dan komisaris, pihak terafiliasi perusahan, dsb.

Hal diatas merupakan modal bagi SA di Indonesia yang dapat dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan, seperti serikat pekerja, masyarakat adat, aktivis lingkungan, akademisi, dan pihak lain yang bersedia memadukan profesionalisme dengan aktivisme. Advokasi yang dilakukan mempunyai legitimasi yang kuat berkat akses ke dokumen perusahaan. Mereka dapat memeriksa Anggaran Dasar dan dokumen perusahaan lain, bahkan meminta audit investigatif atas transaksi tertentu. Mereka juga dapat mengusulkan agenda RUPS, mengusulkan RUPSLB jika ada kasus yang material, bahkan menggugat di pengadilan jika ada kerugian dari pelanggaran UU PT dan PM.

Tiga stakeholders diatas juga perlu melakukan SA untuk kepentingannya. Serikat Pekerja Indosat yang beberapa waktu lalu menolak penjualan saham Indosat ke STT Singapura dan menolak paket remunerasi raksasa untuk Komisaris dan Direksi, dapat melakukan pengawasan langsung dengan menjadi pemegang sahamnya. Kelompok kepentingan lain seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sebagai alternatif advokasinya selama ini, dapat menjadi pemegang saham perusahaan perkebunan, perkayuan dan pertambangan yang sudah terbuka di pasar modal.

Mereka dapat mengumpulkan dana dari masyarakat Dayak untuk membeli saham Barito Pacific Timber Tbk yang banyak mempunyai HPH di Kalimantan, agar lebih memperhatikan kepentingan masyarakat Dayak. Kemudian Majelis Kesehat
an PP Muhammadiyah dapat menjadi pemegang saham perusahaan kesehatan seperti Bayer Indonesia Tbk, Indofarma Tbk dan Kimia Farma Tbk untuk mengusulkan langkah-langkah yang dapat ditempuh perusahaan tersebut dalam memperluas akses kesehatan bagi masyarakat.

Dengan demikian SA adalah alat untuk menyeimbangkan relasi kekuasaan antara pasar dan masyarakat.

Kepustakaan

Alan J Miller, “Socially Responsible Investing: How To Invest With Your Conscience”, Simon & Schuster, 1991
Birkin dan Woodward, 1997, dalam Andreas Lako, “Problema Internasional dalam Pelaporan Informasi Akuntansi Sosial-Lingkungan dan Implikasinya terhadap Perusahaan Publik Indonesia”, Media Akuntansi, 31 Februari-Maret 2003
Claude Morgan, “Shareholder Activism”, http://production.enn.com/news/enn-stories/2001/06/06062001/shareholder_43785.asp
Indra Bastian, “Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi”, Salemba Empat, 2002.
Jooyoung Kim and Joongi Kim, “A Review of How PSPD Has Used Legal Measures to Strengthen Korean Corporate Governance”, Journal of Korean Law, Vol. 1, No. 1, 2001
Komisi Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Good Corporate Governance, versi 4.0, 2001
Misahardi Wilamarta, “Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance”, Program Pascasarjana FHUI, 2002
People’s Solidarity for Participatory Democracy, “Shareholder Activism in Korea”, People’s Solidarity for Participatory Democracy, 2002
“Kala Prajogo Membobol Barito”, Majalah Trust Edisi 23 Tahun I
Indikator Perdagangan di Bursa Efek Jakarta, Kompas, 6 Juli 2003

Melembagakan Lin Che Wei

Melembagakan Lin Che Wei

Hukumonline.com [16/4/03]
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=7835&cl=Kolom

Agam Fatchurrochman adalah Program Manager Partnership for Governance Reform in Indonesia

Mengamati kasus Lippo sungguh sangat menarik, yaitu bergesernya kepedulian pribadi menjadi masyarakat. Dari tulisan Lin Che Wei pribadi, seorang analis yang peduli terhadap ekonomi negara, menjadi tindakan masyarakat yang sementara terlembagakan dalam Koalisi Masyarakat Anti Skandal Bank Lippo (Koalisi Lippo).

Padahal jika kita melihat potensi kerugian negara dan kerusakan ekonomi, banyaknya pemegang saham serta nasabah Bank Lippo, Koalisi Lippo ini sungguh berpotensi besar untuk bergulir lebih jauh. Berbagai pihak terlibat di situ. Belum lagi jika kita bicara banyaknya pelanggaran di pasar modal–baik yang merugikan pemodal individu, institutional–sangat besar peluang bahwa Koalisi Lippo ini bisa menggelinding menjadi sesuatu yang besar, yang bertujuan agar prinsip good governance dapat ditegakkan.

Karena itu, perlu tindakan sistematis agar apa yang dilakukan Lin Che Wei pribadi dan Koalisi Lippo ini dapat dilembagakan. Sebagian orang mungkin berkata bahwa sudah ada Komnas Corporate Governance, MISI, IICG, FCGI, dan lain-lain. Tetapi penulis berpendapat bahwa menuju reformasi corporate governance yang genuine, dalam kasus Indonesia yang sedang dalam masa transisi yang disertai mandegnya penegakan hukum dan mandulnya lembaga pengawas di pasar modal, perlu diterapkan langkah sistematis yang sifatnya extraordinary. Kejahatan kerah putih yang sangat canggih perlu ditangani sistematis oleh masyarakat melalui minority shareholder activism model Korea Selatan.

Pengalaman Korea

Beberapa bulan lalu, penulis berkesempatan berkunjung ke markas Participatory Economy Committee (PEC) di bawah People’s Solidarity for Participatory Democacry, sebuah LSM terbesar di Korea Selatan, untuk belajar tentang minority shareholder activism. Secara singkat, minority shareholder activism ini bertujuan untuk menerapkan demokrasi ekonomi, mengawasi praktek bisnis tidak wajar, dan mereformasi chaebol dengan memanfaatkan mekanisme pasar modal. PEC ini ditulangpunggungi oleh berbagai dosen keuangan, bisnis dan hukum, pengacara pasar modal, akuntan publik, analis pasar modal, bankir, dan sebagainya.

Seperti halnya di Indonesia, berbagai pelanggaran aturan pasar modal kerap kali terjadi. Banyak chaebol–yang meski sudah masuk bursa, masih dikendalikan oleh keluarga pendirinya–sehingga seringkali melakukan transaksi yang menguntungkan manajemen atau keluarga pendiri dan merugikan pemegang saham lainnya.

Berangkat dari praktek macam itu, sejak 1997 PEC kemudian bergerak dengan menggunakan hak-hak sebagai pemegang saham minoritas. PEC sebagai LSM tentunya tidak bermodal banyak. Karena itu, PEC hanya fokus pada 6 chaebol terbesar di Korea Selatan yang sudah masuk bursa, yaitu Samsung, SK Telecom, Hyundai, Daewoo, LG, dan Korea First Bank, dengan rata-rata saham kurang dari 0,5%.

Sebagai pemegang saham minoritas, PEC mempunyai hak sejajar dengan pemegang saham lainya, seperti meminta informasi perusahaan, hadir dalam RUPS, memeriksa keputusan rapat direksi, mempertanyakan corporate action yang merugikan pemegang saham minoritas, dan sebagainya.

Secara singkat, PEC menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan perusahaan. Hal ini dilakukan dengan (1) mengikuti RUPS, (2) mengajukan usulan sebagai pemagang saham, (3) mengumpulkan proxy dari pemegang saham lain, dan (4) mendesak diadakannya RUPS luar biasa.

Langkah di atas dilakukan misalnya dalam kasus Korea First Bank. Dalam RUPS KFB, PEC bersatu bersama ± 5% pemegang saham lainnya melalui proxy solicitation untuk menghadiri RUPS. RUPS ini diadakan di antaranya untuk mengesahkan keputusan manajemen untuk memperbesar kredit kepada Hanbo Steel Co yang sebenarnya sudah macet. PEC berpendapat bahwa keputusan ini akan merugikan KFB dan pada gilirannya mengurangi nilai pemegang saham.

Karena itu, PEC bersama pemegang saham minoritas lainnya berencana untuk mempertanyakan keputusan manajemen tersebut dalam RUPS. Tetapi, RUPS dirancang sedemikian rupa untuk mengesahkan keputusan manajemen dan mengurangi hak bicara pemegang saham minoritas lainnya. Karena gagal dalam RUPS ini, PEC bersama 5% pemegang saham lainnya mengusulkan diadakannya RUPS luar biasa. Tetapi, sayangnya ini juga gagal.

Kedua, melakukan langkah preventif dan mengawasi perilaku manajemen. Hal ini dilakukan dengan (1) memeriksa pembukuan dan catatan perusahaannya atau menujuk pemeriksa khusus, (2) meminta penghentian keputusan ilegal dan tidak wajar manajemen, dan (3) menggugat untuk mencegah dilakukannya keputusan ilegal dan tidak wajar manajemen.

Langkah pemeriksaan catatan perusahaan ini berguna untuk pertama, membuat pemegang saham memperoleh gambaran kritis untuk mempersiapkan diri menghadapi RUPS. Kedua, menekan manajemen untuk menghentikan keputusan ilegal atau yang tidak wajar. Langkah PEC untuk menggunakan haknya mendapat notulensi rapat komisaris dan direksi Samsung Electronics (ingat kasus Lippo) dilakukan karena curiga bahwa Samsung Electronics akan mendukung Samsung Motor secara ilegal dan terlibat dalam transaksi internal ilegal lainnya. Berlawanan dengan hak pemegang saham yang dijamin UU untuk mendapatkan notulensi rapat direksi, Samsung Electronics menolak memberikan notulensi tersebut. PEC kemudian memasukkan gugatan di pengadilan untuk mendapatkan notulensi tersebut dan kompensasi 3 miliar won. Pengadilan kemudian mengabulkan gugatan tersebut beserta kompensasinya.

Ketiga, memaksa manajemen bertanggung jawab atas perilakunya, yang dilakukan dengan (1) gugatan di pengadilan (shareholders’ derivative suit), (2) melakukan pengaduan administratif dan pidana, (3) meminta dihentikannya pejabat perusahaan yang bertanggung jawab atas kasus tertentu.

Dalam kasus KFB seperti pada contoh terdahulu, beberapa saat setelah permintaan RUPS luar biasa gagal, PEC bersama 61 pemegang saham lainnya menggugat KFB ke pengadilan dengan shareholders’ derivative suit. Gugatan disertai permintaan kompensasi 40 miliar won kepada mantan presiden dan direksi KFB dilakukan karena KFB memberikan kredit lagi ke Hanbo dan menyebabkan kerugian besar bagi bank dan pemegang sahamnya, dan dicurigai menerima suap. Setelah 6 bulan berjuang di pengadilan, akhirnya vonis memenangkan sebagian gugatan PEC, membatalkan keputusan RUPS, dan menyatakan bahwa RUPS tidak melindungi kepentingan pemegang saham minoritas.

Minority shareholder activism ini membuahkan banyak penghargaan bagi PEC. Pada 2001, Chairman PEC Prof. Ha Sung Jang, seorang professor of finance dari Korean National University yang mendapatkan doktornya dari Wharton Business School, dinobatkan oleh Asiaweek sebagai orang keenam paling berpengaruh di Asia karena berhasil menerapkan corporate governance dalam praktek bisnis chaebol di pasar modal.

Konteks Indonesia

Dalam perbicangan dengan penulis, Prof. Ha Sung Jang berpendapat bahwa kampanye penerapan good corporate governance dan fair business practice biasa sangat tidak memadai untuk kasus Indonesia dan Korea. Dalam masa transisi, yang diperlukan adalah tindakan untuk memperkuat law enforcement. Beberapa pihak mungkin menilai apa yang dilakukan PEC dan Koalisi Lippo sebagai witch hunting. Tetapi dalam kondisi ini, efek penjera (deterrent effect) perlu dikedepankan, mendorong lembaga yang berwenang untuk menghukum praktek semacam ini, selain masyarakat memerlukan quick win sebagai bukti bahwa hukum masih berlaku di negeri ini.

Dalam kasus Lippo misalnya, mengapa terungkap dan sekarang bersama-sama diadvokasikan hanya karena kebetulan saja. Lin Che Wei sebagai analis menuliskan berbagai keanehan yang berpotensi merugikan negara dan merusak perkonomian. Setelah ramai, baru terbentuk koalisi dadakan untuk mengungkap dan mengadokasikan lebih lanjut skandal Lippo ini.

Jika kita melihat banyaknya pelanggaran aturan pasar modal, juga transaksi yang berpotensi
merugikan kepentingan pemegang saham minoritas, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan. Dari Grup Lippo sendiri misalnya pernah ramai kasus Lippo Life, Lippo E-Net, Matahari Putra Prima, dan LippoShop, dan sebagainya. Kesemua kasus tersebut sempat ramai di media. Tetapi sayangnya–karena belum ada gerakan tersistematisir seperti Koalisi Lippo kali ini–kasus-kasus tersebut tenggelam. Dan karena Bapepam hanya memberikan sanksi administratif saja, kasus semacam ini selalu berulang.

Kasus semacam Lippo mestinya tidak hanya menjadi perhatian kalangan terbatas saja. Barito Pacific Group yang melakukan serangkaian akuisisi internal dan sangat berpotensi merugikan Taspen, perusahaan asuransi pensiun pegawai negeri sebagai salah satu pemegang saham, patut diadvokasikan bersama oleh para pegawai negeri serta Korpri (“Kala Prajogo Membobol Barito”, Majalah Trust Edisi 23). Kalangan buruh misalnya juga dapat melakukan pengawasan atas Jamsostek dan investasinya, sehingga jika Jamsostek maupun wahana investasinya melakukan pengabaian prinsip investasi yang baik, buruh patut bergerak.

Oleh karena itu, sudah saatnya Koalisi Lippo didukung secara bersama-sama oleh seluruh komponen bangsa. Dengan kesadaran penuh bahwa kesejahteraan masyarakat akan dapat dicapai jika dapat praktek bisnis kotor semacam itu dapat dihentikan.

Kita misalnya memiliki Kwik Kian Gie yang banyak menulis tentang praktek kotor bisnis konglomerat, Lin Che Wei, dan beberapa analis lainnya yang tekun menganalisa untuk memaksimalkan pemegang saham, INDEF dengan ekonom vokalnya, ICW dengan semangat menyelamatkan uang negara dan tim pengacaranya, dan sebagainya. Beberapa tahun yang lalu Econit juga berkali-kali mengungkap praktek bisnis Bogasari dan Grup Salim.

Oleh karena itu, sekarang saatnya Koalisi Masyarakat Anti Skandal Bank Lippo ini bisa dilembagakan, seperti PEC di Korea, dan melakukan upaya sistematis mereformasi konglomerat dan praktek bisnis kotor melalui minority shareholder activism. Dengan demikian, kita telah melembagakan kekritisan Lin Che Wei pribadi dan Koalisi Lippo dalam suatu institusi. Jika masyarakat tidak bergerak sendiri, siapa lagi yang dapat membela kepentingan rakyat selain kita sendiri?

Good NGO Governance

05 Jul 2005 Leave a comment

Good NGO Governance
Tablod Kontan, 14/V Tanggal 25 Desember 2000

Agam Fatchurrochman
Koordinator Divisi Investigasi ICW
Rudy M. Harahap
Pengamat Akuntabilitas dan Transparansi

Apa yang Anda bayangkan ketika mendengar kata Non-Government Organization (NGO) atau biasa disingkat LSM? Secara umum, Anda pasti membayangkan sekelompok orang yang radikal, nonkompromi, prolingkungan, antikemapanan, dan selalu meminta pertanggungjawaban pemerintah dengan gegap gempita. Karena itulah, oleh penguasa mereka kerap dianggap sebagai batu sandungan.

Bagi yang berpandangan sinis, bayangan yang didapat mungkin seperti ini: corong kepentingan asing, dana dari negara asing, tidak sopan, dan tidak berkepribadian Indonesia. Mereka cenderung dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah yang berkuasa. Ini wajar, karena pada awalnya keberadaan LSM relatif tidak dikenal masyarakat, kecuali pada saat booming LSM JPS yang lalu –ketika LSM banyak yang menawarkan dirinya menjadi kontraktor pelayanan umum (public service contractor) proyek pemerintah. LSM jenis ini biasa disebut LSM “pelat merah” atau government NGO.

Bayangan tersebut ada benarnya. Sebab, selama ini sumber dan cara LSM mendapatkan sumber daya keuangan dan nonkeuangan untuk aktivitasnya sering tidak jelas. Apalagi, jika dipertanyakan cara LSM mengelola sumber dayanya. Karena itu, akuntabilitas publik LSM selama ini masih luput dari pengamatan kita.
Dalam dunia kenegaraan (government) dan swasta (corporate), akuntabilitas publik bukan barang baru. Diskusi tentang ini pun sedang marak karena menjadi salah satu persyaratan IMF. Sayangnya, sampai saat ini diskusi good governance tidak pernah berkembang dan menyentuh dunia LSM.

LSM kebanyakan berbentuk yayasan

Akuntabilitas dan transparansi pemerintah memang selalu diteriakkan oleh kalangan LSM. Akan tetapi, untuk menerapkannya ke dalam dirinya sendiri, rasanya masih tertinggal jauh. Tidak aneh jika sampai sekarang masih banyak masyarakat yang mengesankan LSM sebagai agen negara asing. Karena itu, untuk menghilangkan kesan tersebut, Good NGO Governance (GNG) perlu diterapkan.

Pertanyaannya, apa yang mesti diterapkan dalam GNG? Sebelum membahas hal ini, terlebih dulu dibahas tentang bentuk badan hukum LSM. Selama ini kebanyakan LSM di Indonesia sebenarnya berbentuk yayasan, seperti YLBHI, Bina Swadaya, dan Dian Desa. Memang, ada LSM semacam Ikatan Akuntan Indonesia dan Masyarakat Transparansi Indonesia yang bukan yayasan, tapi asosiasi keanggotaan. Namun, LSM semacam ini tidak banyak di negeri ini, sehingga pembahasan mengenai governance LSM lebih banyak berkaitan dengan LSM yang berbentuk yayasan. Pada umumnya yayasan LSM didirikan dengan cara memisahkan kekayaan pihak-pihak yang ingin mendirikan yayasan (pendiri) untuk dijadikan kekayaan awal yayasan. Pemisahan dilakukan sedemikian rupa sehingga para pendiri tidak lagi memiliki kekuasaan yang nyata atas kekayaan yang dipisahkan. Hal ini berbeda sekali dengan badan hukum PT, di mana hubungan kepemilikan masih ada, yaitu dalam bentuk saham.

Karena didirikan oleh beberapa pendiri, yayasan biasanya sangat bergantung pada para pendirinya. Ketergantungan ini terutama dalam modal awal kegiatan dan pengelolaan kegiatan sehari-hari. Biasanya, peran pendiri yayasan ini diakomodasikan dalam dewan pendiri atau dewan etik. Dewan pendiri inilah yang nantinya akan menentukan pengelola (manajemen atau dewan pengurus) sehari-hari yayasan tersebut.

Meskipun bentuknya sudah jelas-jelas disebut yayasan, LSM sebenarnya mempunyai ciri yang agak berbeda dengan yayasan lainnya. Terutama sekali bila dibandingkan dengan yayasan yang bergerak dalam bidang keagamaan dan pendidikan. Sebab, yayasan LSM biasanya dibentuk karena adanya sekelompok idealis yang mengajak beberapa tokoh masyarakat untuk terlibat. Biasanya mereka yang dilibatkan itu ditempatkan sebagai pendiri atau anggota dewan etik.
Sembari memantapkan organisasi, yayasan LSM biasanya mengumpulkan uang dari pendirinya atau dari sumbangan masyarakat. Kemudian, setelah mendapat cukup reputasi dan jaringan, biasanya mereka mulai melirik sumber dana dari LSM asing, charitable foundation atau funding agency. Karena itu, jarang sekali LSM di Indonesia yang tumbuh dari iuran anggotanya.

Sayangnya, setelah mendapatkan dana dari luar negeri, yayasan LSM sering lupa untuk membentuk basis pendanaan dari masyarakat di dalam negeri, seperti yang dimaksudkan pada awal pendirian. Itulah sebabnya, banyak LSM yang tidak sadar pentingnya good governance di kalangan mereka sendiri.

Komponen Good NGO Governance

Dengan sifat lembaga yang seperti ini, memang agak sulit untuk memperkenalkan GNG. Apalagi belum ada buku teks khusus yang memperkenalkan good governance untuk LSM. Anthony dan Govindarajan –yang buku teksnya mengenai sistem pengendalian manajemen banyak dibaca kaum akademisi– pun hanya menyisihkan beberapa halaman untuk membahas good governance di organisasi nirlaba semacam ini.

Ini berbeda sekali dengan pembahasan GCG. Entah berapa buku dan riset yang sudah membahasnya. Pada intinya, GCG menyangkut empat komponen yaitu keadilan (fairness), transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Biasanya empat komponen itu dirinci lagi menjadi persyaratan mengenai susunan dan peran dewan komisaris, dewan direksi, dan komite audit serta pengungkapan mengenai kompensasi komisaris dan direksi, pelaporan keuangan (financial statements), dan laporan tahunan (annual report). Namun, untuk menerapkan empat komponen itu di LSM rasanya sulit.

Sebenarnya ada beberapa hal yang dapat diterapkan di LSM yang mirip organisasinya dengan perusahaan. Pertama, mengenai susunan dan peran dewan pengurus. Dewan pengurus LSM harus dipilih orang yang tepat. Kriterianya, mereka merupakan tokoh masyarakat, memiliki reputasi bagus, dan mampu memberikan visi mengenai organisasi. Berdasarkan latar belakang inilah mereka mampu mengontrol dan menjadi panutan organisasi. Kebanyakan LSM, kecuali LSM “pelat merah”, tidak ada masalah dengan ini.

Kedua, mengenai pemilihan pengelola (dewan pengurus) yayasan LSM. Karena dewan pendiri tidak bisa mengelola kegiatan secara penuh (day-to-day), untuk menjalankan visi organisasi harus dipilih pengelola (badan pelaksana). Mereka yang duduk di sini harus orang yang tepat dan amanah. Untuk mencegah mereka berbuat curang, mereka harus diberi gaji yang memadai. Rasanya ini pun sudah diterapkan di kebanyakan LSM.

Ketiga, pelaporan keuangan. LSM kebanyakan tidak mengenal akuntansi, dalam arti double entry bookkeeping. Di kalangan LSM biasanya hanya dikenal pembuatan anggaran, inventarisasi aset, dan pencatatan uang keluar masuk. Itulah sebabnya, banyak yayasan LSM yang tidak tahu nilai aset yang dimiliki, kewajiban, sumbangan yang diterima, cash flow, serta sisa dana (fund balance) akhir tahun. Padahal sudah ada standar akuntansi untuk laporan keuangan organisasi nirlaba. Karenanya, jika ditelaah lebih jauh, banyak sebenarnya LSM yang keuangannya belum accountable. Hal inilah yang perlu menjadi perhatian LSM jika mereka ingin menerapkan GNG.

Keempat, pelaporan kegiatan. LSM harus membuat laporan tahunan. Laporan ini harus menggambarkan kegiatan yang telah dan akan dilakukan, sumber pendanaannya, serta indikator keberhasilannya. Nah, yang menjadi masalah, dalam rangka penegakan GNC, kepada siapa sebenarnya laporan ini harus dikirim? Umumnya LSM hanya menyampaikan laporannya ke penyandang dana (funding) dan pendiri. Tapi, karena LSM adalah bagian dari dan milik masyarakat (stakeholder), laporan ini mestinya dapat juga diakses oleh masyarakat.
Kelima, sistem pengendalian manajemen. LSM mesti melakukan pengendalian keuangan. Kebanyakan pengendaliannya seperti discretionary expense center. Di sini pengendalian diarahkan pada biaya-biaya yang sifatnya kebijakan. Jadi, pengendaliannya kebanyakan pada aspek anggaran, yaitu membandingkan bujet dengan aktual, karena hal ini berkaitan dengan mekanisme pendanaan yang biasanya berasal dari grant lembaga funding. Harusnya, pengendalian tersebut diperluas sehingga menjadi pengendalian yang build-up
through the systems.

Laporan keuangan LSM ukurannya harus universal

Dalam hubungannya dengan laporan keuangan, yayasan LSM biasanya tidak memiliki tujuan dan ukuran pencapaian laba. Jika tujuan organisasi bisnis adalah mencapai laba dengan ukuran tertentu, organisasi LSM sudah pasti tidak mempunyai tujuan dan ukuran ini. Memang, tujuan organisasi LSM bisa bermacam-macam, tapi ukuran pencapaian tujuan ini sulit dan jarang diukur secara kuantitatif. Tiadanya ukuran yang komprehensif, memuaskan, terutama kuantitatif, memang telah menjadi masalah serius bagi organisasi semacam LSM ini.

Namun, laporan keuangan LSM sebisa mungkin harus tetap menggunakan ukuran yang universal dalam pengukuran pencapaian tujuannya. Karena itu, LSM sebaiknya memelihara laba –dalam bahasa akuntan biasa disebut kenaikan aktiva bersih– yang tidak terlalu besar. Laba yang tinggi menandakan LSM tersebut tidak menyediakan jasa yang memadai sesuai tujuannya. LSM jenis inilah yang perlu dicurigai sebagai LSM “pelat merah”.

Namun, jangan sampai LSM juga mengalami kerugian, karena akan membangkrutkan dirinya.

Ini Karachi atau Leicester? Jamaah Tabligh di Inggris

01 Jul 2005 4 Comments

Setelah lebih 12 tahun tidak pernah mengikuti kegiatan Jamaah Tabligh (JT), minggu lalu saya diajak beberapa rekan Pakistani-British untuk mengikuti Jamaah ke Leicester selama tiga hari, 24-27 Juni

Ajakan itu saya iyakan karena selain menambah teman, juga saya ingin mempelajari (lagi) semangat, keikhlasan dan kepasrahan diri rekan-rekan JT dalam berdakwah. Alhamdulillah kalau saya bisa tertulari semangat mereka ini.

JT Nottingham ini markasnya hanya 200 m dari rumah kami, di masjid Bilal. Sedangkan kegiatan ini pergi ke kota tetangga, Leicester, sekitar 45 menit bermobil.

Kami berangkat ber-12 sehabis salat magrib jam 10.00. Ternyata rombongan kami ini adalah anak-anak muda yang masih gaul-gaul, tapi berniat untuk mempelajari Islam dan dakwah pada JT kali ini. Saya bersyukur karena banyak teman yang penampilannya tidak berjenggot dan berpakaian biasa saja dikarenakan level saya yang juga masih tahap belajar seperti mereka.

Tia, istri saya, sudah mewanta-wanti kalau kaos hitam kesayangan saya “Helloween Rabbit on Tour Indonesia 2004” ‘haram’ dipakai disini. Iya lah, saya pakai baju koko saja, sementara 3 mentornya memakai jubbah, baju tradisional pakistan yang mirip gamis arab. Mungkin kata “jubbah” ini diserap ke bahasa Indonesia untuk baju longgar yang menutup tubuh.

Mengenai kata serapan, ternyata “roti” dan “kunci” adalah serapan dari Urdu atau Hindi. Jadi kalau makan pagi, saya bisa mengatakan “Could u pass me the roti, please!”.

Di luar perkiraan saya, ternyata program JT untuk anak mudak kali ini agak longgar, tidak seketat di Indonesia. Kami tidak “dipaksa” tahajud, bangun agak siang, ada acara sepak bola, dsb. Di Indonesia, sebisa mungkin ditiru semua kebiasaan nabi dan sahabat, sehingga tidak bakal ada acara sepak bola.

Sabtu pagi dimulai dengan sarapan khas pakistan, roti, kari, telur, teh inggris, dll. Selanjutnya mulai taklim, tajweed dan muzakarah sampai Zuhur. Taklim dimulai dengan pembacaan kisa-kisah nabi dan sahabat, saling mendengarkan dan mengoreksi tajwid, dan diskusi. Setelah Zuhur, dilanjutkan makan siang dengan menu serupa tapi ditambah nasi bariyani, dan acara bebas, berupa sepak bola di taman besar depan masjid.

Disini kami tetap diminta melakukan tugas tabligh sembari bermain. Kami diminta ngobrol dengan local youngsters, mengajak mereka ke masjid malamnya karena akan ada pengajian. Tidak ada kamus flirting cewek lewat. Bisa-bisa sepanjang hari akan disuruh khidmat, melayani jamaah, memasak, cuci piring, menyapu, dll.

Menjelang jam 6, kami berkumpul lagi dan mendapat pelajaran praktis satu jam tentang dakwah langsung mendatangi rumah-rumah masyarakat muslim sekitar masjid. Ada the dos & don’ts dakwah ini. Misalnya ditetapkan mutakallim, juru bicara rombongan, tidak boleh melihat dengan perasaan ingin tahu atau offending acts lainnya.

Singkat kata, dengan dibagi ke dua rombongan dan diantar jamaah setempat, kami mendatangi rumah-rumah yang sudah didaftar terlebih dahulu. Leicester ini proporsi penduduk Pakistani-Indian-Bangladeshi-British cukup tinggi. Kebetulan masjid Furqon tempat kegiatan kali ini terletak di kawasan Pakistani-India. Sepanjang mata memandang, hanya terlihat orang-orang berhidung mancung khas penduduk anak benua India.

Banyak kota-kota di Inggris yang konsentrasi Asian-British ini cukup tinggi. Leicester salah satunya. Bahkan mayoritas orang berumur lebih dari 40, masih berbahasa Urdu/Hindi yang kebanyakan menggunakan kata “he” dan “acha”. Jadi ingat ibu saya di rumah yang suka bollywood

Jika rumah-rumahnya tidak khas Inggris yang membosankan dengan red brick-nya, tentu saya bisa mengira ini adalah Karachi.

Kami datang ke masing-masing rumah. Jamaah setempat memberi memperkenalkan kami dan mutakallim secara singkat memberi dakwah dan mengajak tuan rumah untuk datang ke masjid. Semua proses paling lama hanya 2-3 menit.

Tak terasa sudah sekitar 10 rumah yang kami kunjungi dan kami segera kembali ke masjid. Setelah salat Asr, pengajian singkat dimulai dalam bahasa Urdu, sehingga salah satu mentor menerjemahkan kepada kami.

Yang menarik, setelah pengajian, pimpinan rombongan dan perwakilan masjid setempat membuat semacam lelang, dimana hadirin didorong untuk menyatakan niat berdakwah, apakah 3 atau 10 hari sebulan, 40 hari atau 4 bulan setahun. Ada beberapa yang secara langsung menyatkan akan mengikuti kegiatan 40 hari bulan Juli-Agustus ini. Tentu kami yang ditanya setelah mereka agak malu karena hanya berani berniat 3 hari dalam sebulan.

Tapi lelang ini tentu tidak mengalami apa yang disebut “winner’s curse”, ketika mereka yang menawar tertinggi dikarenakan kondisi psikologis (bounded rationality) menyesal telah memberi harga yang terlalu tinggi.Pada akhirnya justru para “winners” ini mengajak kami semua untuk “menawar” setinggi-tingginya.

Akhirnya, yang ada hanyalah “winner’s blessing”, ketika para penawar tertinggi merasa mendapatkan pahala yang sangat besar, mereka justru ingin berkhidmat lebih banyak lagi.

-Agam