Shareholder Activism:
Balancing The Power Between Market And Society
Jurnal Ilmu dan Kemanusiaan Media Inovasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta No 1 Th XIII/2003 ISSN 0215-7160
Agam Fatchurrochman
Programme Manager di Partnership for Governance Reform in Indonesia. Pernah belajar tentang shareholder activism dan corporate governance di Korea Selatan.
Sejak medio 80-an, dunia menyaksikan pergeseran peranan negara atau sektor publik dalam ekonomi. Secara revolusioner ideologi kanan baru di Inggris dan Amerika Serikat yang menjadi landasan utama kebijakan ekonomi dan politik mereka meluas keseluruh dunia. Ideologi ini berpusat pada mekanisme pasar sebagai dasar pengambilan keputusan pemerintah, mengurangi peranan sektor publik dan memperbesar kapasitas pasar. Implementasi ideologi ini secara kongkret adalah gelombang privatisasi BUMN dari berbagai industri, termasuk public utilities yang tadinya dianggap kewajiban negara.
Dengan demikian segitiga klasik yang selalu dipakai untuk menggambarkan hubungan saling ketergantungan antara tiga aktor dalam suatu lingkungan, sektor publik atau negara, pasar atau korporasi, serta masyarakat secara perlahan mulai berubah, terutama dalam pelaksanaan tugas negara dalam bidang public utilities.
Secara singkat, sektor publik yang diwakili negara selalu diasosiasikan tugasnya untuk memberikan jaminan atas penyediaan peraturan, infrastruktur ekonomi dan fisik, keamanan dan perdamaian. Sedang pasar yang diwakili korporasi ditugaskan untuk menyediakan lapangan kerja dan pemasukan bagi negara, serta barang dan jasa bagi masyarakat. Masyarakat sendiri diharapkan dapat menyediakan tenaga kerja bagi pasar dan pemasukan kepada negara.
Gelombang privatisasi serta bangkitnya ekonomi dunia yang didorong oleh investasi besar-besaran di sektor riil maupun keuangan, semakin memperkecil peran sektor publik dalam sumbangannya terhadap penciptaan kue ekonomi. Porsi korporasi ini semakin besar dan ini tidak terhindarkan. Korporasi akhirnya menjelma menjadi negara dalam negara. Bahkan dalam MNCs, korporasi mampu menjadi negara yang melintasi batas-batas geografis suatu negara. Korporasi mempunyai konstitusi tersendiri, kabinet dan struktur pemerintahan sampai tingkat terbawah sendiri, warga negara sendiri dengan kartu identitas tersendiri, serta public utilities sendiri. Perusahaan pertambangan Rio Tinto yang berasal dari Australia, misalnya beroperasi lintas negara. Operasinya di Indonesia berada di berbagai daerah, bahkan PT Kaltim Prima Coal, salah satu anak perusahannya, menjadi motor penggerak kabupaten Kutai Timur.
Peranan korporasi dalam ekonomi yang besar itu sayangnya tidak diikuti oleh perubahan pandangan sektor masyarakat. Dalam berbagai hal, masyarakat masih asyik berkutat mempermasalahkan fungsi negara dan melupakan relasi masyarakat – korporasi. Padahal potensi penyimpangan perilaku korporasi dapat mengguncangkan sendi-sendi kemasyarakatan. Contoh yang paling mudah adalah dalam berbagai isu yang menyangkut perilaku korporasi, masyarakat yang seringkali diwakili LSM, masih terus menuntut intervensi negara untuk menyelesaikan. Padahal dalam kondisi ekonomi negara melemah dan korupsi merajalela, mengharapkan negara memihak masyarakat adalah suatu kemustahilan.
Berbagai buku manual advokasi –misalnya buku “Merubah Kebijakan Publik” yang diterbitkan ReaD Yogyakarta dan sangat berpengaruh dikalangan LSM dan mahasiswa– masih berpusat pada merubah kebijakan publik atau negara, meski seringkali menyangkut perilaku korporasi. Buku ini merefleksikan pandangan kiri bahwa intervensi negara dalam semua hal adalah mutlak. Secara tradisional, kalangan kiri dalam menyelesaikan berbagai persoalan selalu berpaling ke negara untuk intervensi, termasuk intervensi negara untuk mempengaruhi perilaku korporasi. Sedangkan kaum kanan berpegang pada inisiatif individual, perusahaan dan pasar, bekerja dengan prinsip kesukarelaan yang bekerja dalam sistem kapitalis, untuk mencapai kondisi sosial, politik dan etis yang diharapkan tanpa bergantung pada intervensi negara.
Salah satu contoh klasik di Barat tentang perbedaan kiri – kanan ini adalah dalam menyikapi apartheid di Afrika Selatan tahun 70 – 80’an. Kalangan kiri selalu menuntut adanya sanksi ekonomi dan diplomatik pemerintah dan dunia internasional atas Afrika Selatan. Sementara kaum kanan –yang diwakili para investor pasar modal– mendorong perusahaan terbuka Amerika untuk tidak berinvestasi dan tidak memberikan lisensi bisnis ke Afrika Selatan. Tuntutan ini berhasil pada pertengahan 80-an ketika hampir semua perusahaan terbuka AS sudah menarik diri dari Afrika Selatan.
Jika kekuatan ekonomi-politik-sosial korporasi sudah sedemikian besar, sudah seharusnya pula masyarakat, termasuk aktor ekonomi rakyat dan berbagai kelompok kepentingan lainnya, menyeimbangkan relasi kekuasaan antara pasar dan masyarakat, balancing the power between market and society.
Stakeholders
Sejarah perkembangan korporasi beserta kekuatan ekonomi-politik-sosial ini secara umum dapat ditelusuri sebagai berikut:
1. Perusahaan kecil. Perusahaan semacam ini biasanya merupakan perusahaan keluarga, dimana pimpinan adalah kepala keluarga dan mempekerjakan anak atau saudara. Permodalannya masih dipenuhi sendiri dan belum mengenal pemisahan harta pribadi dan usaha, badan hukum seringkali tidak ada, masih perusahaan perseorangan, persekutuan modal atau CV. Dengan demikian kewajiban perpajakannya (paling tidak NPWP/Nomor Pokok Wajib Pajak) masih menjadi satu dengan pemilik. Transaksi kebanyakan masih tunai dan rekanan bisnis masih terbatas. Urusan dengan bank hanya sebatas menyimpan, bukan meminjam. Belum mengenal sistem akuntansi akrual, hanya pencatatan jual beli saja.
2. Perusahaan menengah. Perkembangan berikutnya ketika transaksi sudah cukup besar dan manajemen semakin kompleks, usaha mulai diformalkan dalam badan hukum, memakai sistem akuntansi akrual, serta NPWP tersendiri. Seringkali juga mulai mengenal pemisahan manajemen, dimana peran keluarga semakin mengecil digantikan oleh manajer non pemilik. Untuk memenuhi kebutuhan modal, bank mulai dilirik menjadi kreditur. Rekanan bisnis juga semakin banyak dan sistem perdagangan mengenal kredit, sehingga mempunyai debitur.
3. Enterprise, atau perusahaan besar dan seringkali adalah MNCs, sudah menguasai hajat hidup orang banyak dan menjelma menjadi negara dalam negara. Karena kekuatan ekonominya, kebijakan pemerintah pun dapat dipengaruhinya.
Perusahaan sekelas enterprise inilah yang perilakunya dapat menggoncangkan masyarakat dan negara. Disinilah kita relevan menyebut stakeholders atau Pihak Yang Berkepentingan, sebagai perluasan dari shareholders, pemegang saham perusahaan. Stakeholders korporasi ini secara umum dapat dibagi ke 7 kelompok, yaitu: (1) owners, yaitu pemegang saham; (2) lenders, para pemberi pinjaman, termasuk bank dan pemegang obligasi; (3) human resources, para karyawan perusahaan, terutama yang tergabung dalam serikat pekerja; (4) business contacts, para pelanggan, penyelia, pesaing, dan rekanan bisinis lain; (5) government/regulatory, pemerintah pusat dan daerah serta lembaga kuasi pemerintah lainnya; (6) general public, para pembayar pajak, masyarakat yang berkepentingan –termasuk masyarakat sekitar perusahaan– dan pressure groups; dan (7) natural environtment, para kelompok yang mewakili kepentingan lingkungan.
Perusahaan semacam PT. Barito Pacific Timber Tbk (BRPT) adalah contoh menarik bagaimana enterprise ini beroperasi dengan 16 anak perusahannya dan pemasarannya yang menjangkau Asia, Eropa, Timur Tengah dan bagian dunia lainnya. Dengan aktiva 6 triliun, penjualan 1,8 triliun, pembayaran pajak 134 miliar, menghidupi 18 ribu karyawan serta luas HPH 1,3 juta hektar, BRPT beroperasi di Kalimantan Barat, Tengah, Selatan dan Timur, Sumatera Selatan, Papua, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tenggara dan Utara. Dengan demikian stakeholders-nya sangat luas, mulai dari pemerintah (pajak, Dana Reboisasi, pajak daerah, dll), pemegang saham (diantaranya 4% oleh PT.
Taspen (persero), pengelola asuransi dan pensiun pegawai negeri, dan 36% oleh publik), karyawan, dan masyarakat, termasuk masyarakat sekitar perusahaan, yang kebanyakan masyarakat adat di daerah HPHnya.
Jika perusahaan semacam BRPT yang sangat kuat lobi dan pengaruhnya ini berperilaku buruk, membahayakan lingkungan, menggusur masyarakat adat, mendukung illegal logging dan membahayakan investasi PT. Taspen, siapakah yang dapat mencegahnya? Sebagian orang tergoda dengan mengatakan BRPT perlu menerapkan prinsip good corporate governance (GCG) dengan konsekuen. Tetapi jika undang-undang saja bisa ditabrak, apalagi prinsip GCG yang hanya voluntary saja.
Konsep GCG pada intinya adalah, pertama, internal balance antar organ perusahaan RUPS, Komisaris dan Direksi dalam hal yang berkaitan dengan struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ perusahaan tersebut. Kedua, external balance, yaitu pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas bisnis dalam masyarakat dan stakeholders.
Dari 13 prinsip GCG yang dirumuskan Komisi Nasional Kebijakan Corporate Governance, delapan diantaranya menyangkut internal balance, seperti: Pemegang Saham dan RUPS; Dewan Komisaris dan komite pendukungnya; Direksi; Sistem Audit; Sekretaris Perusahaan; Keterbukaan; Kerahasiaan; dan Informasi Orang Dalam. Sedang 5 isu lainnya hanya disinggung secara singkat yaitu: Pihak Yang Berkepentingan (Stakeholders); Etika Berusaha dan Anti Korupsi; Donasi; Kepatuhan pada Peraturan Perundang-Undangan tentang Proteksi Kesehatan, Keselamatan Kerja dan Pelestarian Lingkungan; dan Kesempatan Kerja Yang Sama.
Hal ini sebenarnya menggambarkan bahwa stakeholders memang kedudukannya dibawah shareholders. Apalagi kedudukan shareholders juga dijamin dengan UU Perseroan Terbatas dan Pasar Modal. Jika demikian, mengapa stakeholders yang lemah posisinya tidak menjadi shareholders saja?
Shareholders
Dari 7 stakeholders diatas, tiga diantaranya lemah posisinya dihadapan perusahaan, yaitu karyawan, masyarakat sekitar perusahaan dan kelompok lingkungan. Karyawan, apalagi jika serikat pekerja lemah dan tidak mempunyai KKB (Kesepakatan Kerja Bersama) hanya akan menjadi faktor produksi saja tanpa ada kesempatan mengembangkan kapasitas dirinya. Masyarakat sekitar perusahaan juga lemah karena perusahaan lebih tertarik membeli hubungan dengan para pejabat pemerintah pusat dan daerah. Kemudian kelompok yang memperjuangkan lingkungan yang bersih dan layak, seringkali dikecewakan karena perusahaan lebih memilih menekan biaya pemulihan lingkungan karena dianggap tidak mempunyai manfaat ekonomi di masa depan.
Meski di Indonesia tiga pihak ini kedudukannya lemah karena tidak mempunyai jalan non konvensional dalam memperjuangkan kepentingannya, sebenarnya melihat pengalaman internasional terdapat jalan untuk menaikkan posisi tawarnya dan mempengaruhi perilaku perusahaan, yaitu melalui kepemilikan langsung atas saham perusahaan yang sudah terbuka di pasar modal.
Jika tiga stakeholders tersebut menjadi pemilik perusahaan dengan membeli saham perusahaan terbuka (seperti porsi pekerja pada saham perusahaan media menurut UU Pokok Pers), maka mereka akan mempunyai:
• Hak untuk menghadiri dan memberikan suara dalam suatu RUPS, berdasarkan ketentuan satu saham memberi hak kepada pemegangnya untuk mengeluarkan satu suara;
• Hak untuk memperoleh informasi material mengenai perusahaan, secara tepat-waktu dan teratur, agar pemegang saham dapat membuat keputusan penanaman modal berdasarkan informasi yang dimilikinya; dan
• Hak untuk menerima sebagian dari keuntungan perusahaan yang diperuntukkan bagi pemegang saham, sebanding dengan jumlah saham yang dimilikinya, dalam bentuk dividen dan pembagian keuntungan lainnya.
Tiga stakeholders tersebut juga mempunyai andil dalam pengangkatan anggota Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan, penetapan gaji dan tunjangan anggota Dewan Komisaris dan Direksi Perseroan, dan penilaian kinerja mereka.
Stakeholders juga dapat mempunyai akses ke beberapa komite yang dapat dibentuk oleh Dewan Komisaris, yaitu: Komite Nominasi untuk menyusun kriteria seleksi dan penilaian bagi anggota Dewan Komisaris, Direksi dan para eksekutif lainnya; Komite Remunerasi yang menyusun sistem remunerasi beserta opsi-opsinya, a.l. opsi karyawan atas saham; Komite Asuransi yang melakukan rekomendasi tentang jenis dan jumlah asuransi yang ditutup oleh perusahaan; serta Komite Audit yang mendorong terbentuknya struktur pengawasan internal yang memadai, meningkatkan kualitas keterbukaan dan pelaporan keuangan, dan audit eksternal.
Di beberapa negara sudah lazim diterapkannya ESOP (employee stock option plan). Tetapi sayangnya ESOP ini lebih banyak ditawarkan ke eksekutif perusahaan sebagai bagian dari remunerasi mereka jika mencapai target tertentu. ESOP ini juga yang didakwa salah satu penyebab skandal Enron, dimana eksekutif Enron dengan ESOP mencoba memaksimalkan kenaikan harga saham dalam jangka pendek.
Shareholder Activism
Upaya menyeimbangkan relasi kekuasaan antara korporasi dan stakeholders melalui mekanisme pasar modal ini disebut sebagai shareholder activism (SA). SA di Asia diperkenalkan oleh Participatory Economy Committee (PEC) –sebuah kelompok dibawah LSM terkemuka Korea Selatan People’s Solidarity for Participatory Democracy– yang aktivisnya terdiri dari profesor keuangan dan hukum, pengacara pasar modal, akuntan publik, dan analis pasar modal. PEC mendefinisikan SA sebagai gerakan untuk memperkuat nilai dan kedudukan pemegang saham minoritas, mengawasi praktek bisnis tidak wajar dan korupsi, serta mereformasi chaebol dengan memanfaatkan mekanisme pasar modal.
Praktek bisnis tidak wajar ini diantaranya adalah banyaknya transaksi chaebol yang melanggar berbagai peraturan pasar modal untuk menguntungkan manajemen atau pendiri dan sebaliknya merugikan pemegang saham lainnya serta kepentingan negara dan masyarakat luas. Sejak 1997 PEC mulai bergerak dengan membeli beberapa saham chaebol terbesar yang sudah masuk bursa dengan rata-rata kepemilikan saham hanya beberapa lot. Meski minoritas, PEC mempunyai hak sejajar dengan pemegang saham lainya, seperti meminta informasi material perusahaan, hadir dalam RUPS, masuk ke dalam Komite Audit, Komite Nominasi Eksekutif, memeriksa keputusan rapat direksi dan komisaris, mempertanyakan corporate action yang merugikan pemegang saham minoritas, dsb.
Secara sistematis, PEC menggunakan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan perusahaan. Hal ini dilakukan dengan (1) mengikuti RUPS, (2) mengajukan usulan dan agenda sebagai pemegang saham, pra maupun di RUPS, (3) mengumpulkan proxy dari pemegang saham lain, dan (4) mendesak diadakannya RUPS luar biasa.
Dalam RUPS Korea First Bank misalnya, PEC menggelar proxy solicitation rally di jalanan untuk menghadiri RUPS. RUPS ini diadakan a.l. untuk mengesahkan keputusan direksi memperbesar kredit ke Hanbo Steel yang macet. Karena itu PEC dengan pemegang saham minoritas lain mempertanyakan keputusan manajemen tersebut dalam RUPS. Tetapi RUPS dirancang sedemikian rupa untuk mengesahkan keputusan manajemen dan mengurangi hak bicara pemegang saham minoritas lainnya.
Kedua, melakukan langkah preventif dan mengawasi perilaku manajemen. Hal ini dilakukan dengan (1) memeriksa pembukuan dan catatan perusahaannya atau menujuk pemeriksa khusus, (2) meminta penghentian keputusan ilegal dan tidak wajar manajemen, dan (3) menggugat untuk mencegah dilakukannya keputusan ilegal dan tidak wajar manajemen.
Memeriksa catatan perusahaan ini berguna untuk, pertama, pemegang saham memperoleh gambaran kritis dalam menghadapi RUPS. Kedua, menekan manajemen menghentikan keputusan ilegal,berbenturan kepentingan atau tidak wajar. Dalam kasus Samsung Electronics, PEC meminta notulensi rapat komisaris dan direksi karena SE mendukung Samsung Motor secara ilegal. Notulensi rapat direksi yang seharusnya dapat diakses PEC ternyata tidak diberikan. PEC kemudian menggugat direksi untuk mendapatkan notulensi tersebut. Pengadilan mengabulkan gugatan ters
ebut beserta kompensasi 3 juta won.
Ketiga, memaksa manajemen bertanggung jawab atas perilakunya, yang dilakukan dengan (1) gugatan atas nama perseroan (derivative action), (2) melakukan pengaduan administratif dan pidana ke otoritas pasar modal atau kejaksaan, (3) meminta dihentikannya pejabat perusahaan yang bertanggung jawab atas kasus tertentu.
Dalam kasus KFB, PEC bersama 61 pemegang saham lainnya mengajukan gugatan derivative dengan tuntutan kompensasi 40 miliar won kepada mantan direksi KFB karena mendapatkan suap dalam memberikan kredit ke Hanbo yang menyebabkan kerugian besar KFB. Pengadilan memenangkan sebagian gugatan PEC, membatalkan keputusan RUPS dan menyatakan bahwa RUPS tidak melindungi kepentingan pemegang saham minoritas. Juga Februari lalu, putra pemilik SK Telecom ditahan karena disangka melakukan perbuatan pidana pasar modal berkat pengaduan dari PEC ke kejaksaan Korsel.
SA ini membuahkan banyak penghargaan. Pada 2001, PEC menerima penghargaan dari ICGN Award, penghargaan prestisius dari International Corporate Governance Network yang mereprentasikan investor institusional dengan aset lebih dari $6 triliun di Tokyo. Meski minoritas PEC sangat ditakuti chaebol. Bahkan pada 1999, 5 chaebol sasaran advokasinya menyelenggarakan RUPS di hari yang sama untuk mencegah aktivis PEC menghadiri RUPS mereka.
Sejarah Shareholder Activism
Sejarah SA ini bisa ditelusuri dari beberapa fase:
1. Kelahiran Hak Pemegang Saham.
Fase ini ditandai dengan disahkannya the Securities Act of 1933 and 1934, yaitu UU pasar modal di Amerika Serikat yang merupakan peletak dasar kewajiban public disclosure informasi perusahaan dan perlindungan investor.
2. Socially-Oriented Shareholder Activism.
Salah satu tonggaknya adalah Interfaith Center for Corporate Responsibility di AS yang didirikan investor dari lembaga keagamaan pada 1970-an. Salah satu kegiatannya adalah menggunakan SA untuk berkampanye anti apartheid, mendorong isu lingkungan, kesehatan dan militer.
3. Corporate Governance Activism.
Pada 1980-an SA mulai digunakan untuk mendesakkan penerapan good corporate governance, terutama perlindungan hak pemegang saham minoritas dan struktur governance perusahaan. Pada 1985 misalnya didirikan Council for Institutional Investors (CII) yang anggotanya terdiri dari dana pensiun, asuransi dan investor institutional lainnya. Tujuannya adalah memaksimalkan return dengan berinvestasi pada perusahaan yang menerapkan GCG.
4. Investor-Environmental Alliance.
Pada 1989 setelah tragedi pecahnya tanker Exxon Valdez, kalangan investor dan aktivis lingkungan mendirikan Coalition for Enviromentally Responsible Economies (CERES) yang menerapkan SA untuk mendorong pengungkapan informasi lingkungan, pengadopsian prinsip lingkungan dan standar laporan tahunan lingkungan perusahaan terbuka. Selain itu LSM lingkungan seperti Greenpeace dan Friends of the Earth sangat aktif memanfaatkan SA untuk mengadvokasikan kasus lingkungan yang menyangkut perusahaan terbuka. Greenpeace misalnya mengadvokasikan masalah pemanasan global dan punahnya beruang kutub sebagai dampak proyek eksplorasi minyak di Laut Arktik di RUPS BP Amoco.
Dewasa ini SA digunakan sebagai salah satu cara yang efektif mempengaruhi perilaku perusahaan terbuka. Para sharehoder activists ini dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Institutional investors, biasanya dana pensiun dan asuransi yang bertujuan memaksimalkan investasi mereka pada perusahaan yang menerapkan GCG. Kelompok ini sebagian sudah mengadopsi prinsip socially responsible investing.
2. Individual investors, yaitu investor perorangan dan mempunyai kepentingan sama seperti institutional investor dan mengadopsi prinsip socially responsible investing.
3. Interest groups, yaitu berbagai kelompok kepentingan semacam LSM, aktivis lingkungan, masyarakat adat, yang bertujuan untuk mendorong kepatuhan pada hukum dan mengubah perilaku perusahaan agar mempedulikan aspek keadilan sosial, yang pada jangka panjang akan menguntungkan perusahaan, negara dan masyarakat.
Satu hal yang sering dipertanyakan adalah: bagaimana mungkin investor –terutama institutional dan individual yang sering dikategorikan kaum kanan– dengan kepentingan memaksimalkan return dapat terlibat dalam socially responsible investing? Bukankah ini bertentangan dengan prinsip dasar kapitalisme untuk memaksimalkan laba? Sebaliknya, berbagai kelompok kepentingan yang seringkali LSM radikal dan dikategorikan kalangan kiri, mengapa mereka terlibat dalam dunia pasar modal? Ikut memiliki korporasi yang merupakan penerapan dari kapitalisme, kebebasan, dan maksimalisasi modal?
Jawabannya adalah bahwa masalah sosial, politik dan etis seperti apartheid, korupsi, kemiskinan, gender, lingkungan, dll, adalah masalah universal kemanusiaan. Semua pihak berkepentingan atas kualitas kehidupan yang lebih baik, baik kaum kiri maupun kanan, di negara maju maupun berkembang.
SA adalah metode dimana institutional investors, individual investors dan interest groups, dengan beragam ideologi bertemu untuk mendesakkan perubahan perilaku korporasi secara langsung. Inilah salah satu alasan SA perlu dikembangkan di Indonesia oleh gerakan sosial, LSM dan para pembela rakyat.
Penerapan SA di Indonesia
Kondisi Indonesia tidak jauh berbeda dengan Korea Selatan dan negara-negara maju lainnya. Banyak konglomerat hitam yang sudah masuk bursa, mengeruk dana masyarakat tetapi masih dikendalikan oleh keluarga pendirinya dan tetap melakukan praktek bisnis tidak sehat yang merugikan kepentingan masyarakat dan negara. Menilik pengalaman internasional, justru hal ini dapat dimanfaatkan untuk mendesakkan isu-isu ekonomi politik dan sosial mekanisme pasar modal.
Hal ini dapat dilakukan karena pasar modal adalah industri yang highly regulated, diatur dengan UU No. 8/1995 tentang Pasar Modal, UU No. 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Bapepam dan BEJ serta peraturan lainnya. UU Perseroan Terbatas misalnya mengakui hak pemegang saham minoritas dalam derivative action, seperti hak mengajukan gugatan (pasal 54 (2)), hak meminta diadakan RUPS (pasal 66, 67), hak menuntut direksi atau komisaris karena melakukan kesalahan atau kelalaian yang mengakibatkan perseroan menderita rugi (pasal 85 (3), 98 (2)) atau hak meminta pengadilan untuk melakukan pemeriksaan terhadap perseroan (pasal 110-113). Dalam UU Pasar Modal juga diatur pemegang saham dapat menuntut ganti rugi sebagai akibat pelanggaran UU PM (pasal 111). Pemegang saham juga berhak atas catatan perusahaan seperti Anggaran Dasar, riwayat hidup direksi dan komisaris, pihak terafiliasi perusahan, dsb.
Hal diatas merupakan modal bagi SA di Indonesia yang dapat dilakukan oleh berbagai kelompok kepentingan, seperti serikat pekerja, masyarakat adat, aktivis lingkungan, akademisi, dan pihak lain yang bersedia memadukan profesionalisme dengan aktivisme. Advokasi yang dilakukan mempunyai legitimasi yang kuat berkat akses ke dokumen perusahaan. Mereka dapat memeriksa Anggaran Dasar dan dokumen perusahaan lain, bahkan meminta audit investigatif atas transaksi tertentu. Mereka juga dapat mengusulkan agenda RUPS, mengusulkan RUPSLB jika ada kasus yang material, bahkan menggugat di pengadilan jika ada kerugian dari pelanggaran UU PT dan PM.
Tiga stakeholders diatas juga perlu melakukan SA untuk kepentingannya. Serikat Pekerja Indosat yang beberapa waktu lalu menolak penjualan saham Indosat ke STT Singapura dan menolak paket remunerasi raksasa untuk Komisaris dan Direksi, dapat melakukan pengawasan langsung dengan menjadi pemegang sahamnya. Kelompok kepentingan lain seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), sebagai alternatif advokasinya selama ini, dapat menjadi pemegang saham perusahaan perkebunan, perkayuan dan pertambangan yang sudah terbuka di pasar modal.
Mereka dapat mengumpulkan dana dari masyarakat Dayak untuk membeli saham Barito Pacific Timber Tbk yang banyak mempunyai HPH di Kalimantan, agar lebih memperhatikan kepentingan masyarakat Dayak. Kemudian Majelis Kesehat
an PP Muhammadiyah dapat menjadi pemegang saham perusahaan kesehatan seperti Bayer Indonesia Tbk, Indofarma Tbk dan Kimia Farma Tbk untuk mengusulkan langkah-langkah yang dapat ditempuh perusahaan tersebut dalam memperluas akses kesehatan bagi masyarakat.
Dengan demikian SA adalah alat untuk menyeimbangkan relasi kekuasaan antara pasar dan masyarakat.
Kepustakaan
Alan J Miller, “Socially Responsible Investing: How To Invest With Your Conscience”, Simon & Schuster, 1991
Birkin dan Woodward, 1997, dalam Andreas Lako, “Problema Internasional dalam Pelaporan Informasi Akuntansi Sosial-Lingkungan dan Implikasinya terhadap Perusahaan Publik Indonesia”, Media Akuntansi, 31 Februari-Maret 2003
Claude Morgan, “Shareholder Activism”, http://production.enn.com/news/enn-stories/2001/06/06062001/shareholder_43785.asp
Indra Bastian, “Privatisasi di Indonesia: Teori dan Implementasi”, Salemba Empat, 2002.
Jooyoung Kim and Joongi Kim, “A Review of How PSPD Has Used Legal Measures to Strengthen Korean Corporate Governance”, Journal of Korean Law, Vol. 1, No. 1, 2001
Komisi Nasional Kebijakan Corporate Governance, Pedoman Good Corporate Governance, versi 4.0, 2001
Misahardi Wilamarta, “Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance”, Program Pascasarjana FHUI, 2002
People’s Solidarity for Participatory Democracy, “Shareholder Activism in Korea”, People’s Solidarity for Participatory Democracy, 2002
“Kala Prajogo Membobol Barito”, Majalah Trust Edisi 23 Tahun I
Indikator Perdagangan di Bursa Efek Jakarta, Kompas, 6 Juli 2003