Praktek Lobi yang Bertanggung Jawab

Lama tidak menulis, berikut opini yang dimuat di Harian Kontan, Selasa, 13 November 2007

Praktek Lobi yang Bertanggung Jawab
Agam Fatchurrochman
Praktisi Corporate Social Responsibility

Kasus dugaan aliran dana BI ke legislator maupun penegak hukum semakin terkuak jauh (Kompas, 10/11/07). Hanya saja, perhatian masyarakat masih tertuju kepada kemungkinan suap, dibandingkan dengan masalah maraknya praktek lobi yang tidak bertanggung jawab dari suatu kelompok kepentingan ke pengambil keputusan.

Di dalam dunia bisnis dan politik, lobi suatu perusahaan terhadap pejabat publik adalah hal yang jamak ditemui. Hanya saja lobi terlanjur dimaknai secara negatif sebagai kesepakatan dibawah meja. Karena itu saatnya kita memikirkan agar lobi dapat dilakukan secara bertanggung jawab.

Per definisi, lobi adalah kegiatan untuk mempengaruhi legislatif atau pejabat publik lainnya untuk membela atau menolak suatu kepentingan (AccountAbility & UN Global Compact, 2005). Lobi di kalangan bisnis adalah bagian dari “corporate political activity”, dimana kalangan bisnis melakukan kegiatan politik untuk mempengaruhi pengambilan keputusan publik.

Ini adalah hal yang wajar, karena setiap kelompok kepentingan, individu maupun bisnis sebagai “corporate citizen”, mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan publik.

Ada empat stretegi corporate political activity (Hillman, 1996, 1999). Pertama, strategi informasi, dimana kelompok kepentingan mendekati pengambil kebijakan dengan menyediakan informasi sesuai kepentingan mereka. Ini bisa berupa membiayai studi dan diseminasi informasinya dalam seminar, lokakarya, pernyataan pers, kertas posisi, dll.

Kedua adalah insentif keuangan, dengan memberikan dana, legal atau ilegal, kepada pengambil kebijakan. Yang legal misalnya menyumbang kampanye kandidat dan partai sesuai UU pemilu. Cara lainnya adalah yang cenderung suap atau gratifikasi sesuai UU Korupsi 20/2002, misalnya memberikan fasilitas kepada pejabat publik, memberikan honor yang jumlahnya tinggi sebagai pembicara suatu acara, atau suap secara langsung.

Ketiga, strategi akses personal, dimana suatu organisasi menggunakan orang berpengaruh, biasanya mantan pejabat, sebagai pelobi yang diberi kedudukan direksi atau komisaris di perusahaan. Atau sebaliknya, pengusaha atau pejabat perusahaan menjadi pejabat publik melalui pemilu. Ingat wakil presiden kita yang seorang saudagar atau beberapa menteri kita yang pengusaha besar.

Keempat, membangun konstituen untuk mempengaruhi secara tidak langsung pengambil keputusan melalui pihak ketiga. Hal ini dapat dilakukan dengan memobilisasi karyawan atau konsumen, segala bentuk komunikasi publik seperti iklan, atau kegiatan pengembangan masyarakat. Contoh terbaru adalah bagaimana karyawan Telkom secara aktif mendukung manajemen Telkom dengan berdemonstrasi meminta Pemerintah membatalkan pembukaan akses SLJJ kepada operator telepon lainnya.

Dalam kasus BI misalnya, strategi pertama dan keempat dilakukan secara bersamaan dengan membiayai berbagai seminar, lokakarya, penerbitan buku dan kegiatan publik lainnya yang bertujuan agar legislator, pemerintah dan publik mendukung posisi BI dalam penyelesaian BLBI dan amandemen UU BI. Ini merupakan hal yang terpuji, karena pelibatan stakeholders merupakan bagian dari lobi yang bertanggung jawab.

Hanya saja strategi kedua, insentif keuangan, dilakukan secara tidak terpuji, dengan dugaan aliran dana ke legislator untuk mempengaruhi mereka mendukung posisi BI. Disinilah kita perlu berbicara tentang lobi yang bertanggung jawab.

Kelompok think tank Inggris AccountAbility dan badan PBB UN Global Compact (2005) mendefinisikan lobi yang bertanggung jawab (responsible lobbying) sebagai tindakan yang konsisten dengan kebijakan dan strategi resmi perusahaan, berkomitmen ke stakeholders dan mematuhi prinsip-prinsip universal etika bisnis, seperti UN Global Compact.

Kedua organisasi tersebut prihatin dengan banyaknya kesepakatan di bawah meja dalam praktek lobi bisnis dan pejabat publik dan menghimbau kalangan bisnis untuk mempertimbangkan 3 hal, yaitu agar perusahaan memastikan praktek lobinya tidak bertentangan dengan pernyataan komitmen nilai-nilai mereka, transparan dan responsif terhadap stakeholdersnya dalam melakukan lobi, serta menerapkan sistem manajemen yang sehat dalam praktek lobinya.

BPK melaporkan bahwa dana lobi BI tersebut sebenarnya berasal dari dana tambahan modal YPPI, lembaga pendidikan milik BI (Kompas, 10/11/07). Sementara dugaan aliran dana ke legislator jelas menyalahi komitmen Nilai-Nilai Strategis BI (integritas, transparansi, akuntabilitas) yang menjadi satu dengan Misi dan Visi BI. Jelas praktek lobinya dilakukan secara tidak bertanggung jawab.

Tantangan kita sekarang adalah untuk membuat kerangka lobi yang bertanggung jawab. Kita bisa mencontoh Amerika dengan Lobbying Disclosures Act, sehingga kita tahu berapa dana lobi perusahaan ke kandidat dan partai, serta Uni Eropa yang saat ini sedang menyusun kebijakan serupa. Dalam hal profesi pelobi, Amerika dan Inggris mempunyai asosiasi pelobi profesional dengan kode etik yang ketat, yang bisa dicontoh oleh pelobi profesional kita maupun pelobi perusahaan yang biasanya bernama departement External Relations.

Pansus RUU Pemilu dan Partai Politik perlu memasukkan pasal yang lebih tegas tentang sumbangan ke partai politik dan kandidat, tidak hanya dimasa kampanye tetapi juga dimasa jabatannya. KPK juga perlu memfokuskan perhatiannya dalam suap didalam proses lobi pegambilan kebijakan publik.

Akhirnya kita semua perlu berkerja sama untuk membuktikan bahwa lobi yang bertanggung jawab adalah hal yang wajar bagi kalangan bisnis sebagai good corporate citizen.