Temanku Seumur Ibuku


Pengalaman tinggal selama beberapa waktu di sebuah perusahaan tambang nikel di Sorowako sangat berkesan. Walau hanya setahun di sana, tapi saya menemukan teman-teman baru dari berbagai umur, jabatan, suku dan agama.

Beradaptasi untuk bersosialisasi dengan ibu-ibu di sana agak susah pada awalnya, tapi seiring dengan berjalannya waktu, saya pun mulai memiliki teman-teman yang unik dari berbagai kalangan.

(Ka Eni Sitorus, saya, bu Totok, artis siapa ya. manajer artis, driver raft)

Salah satu yang unik adalah saya memiliki teman “dekat” yang seumuran dengan ibu saya. Ibu Eni Sitorus namanya. Suami beliau pak Abiden Sitorus waktu itu setingkat dengan jabatan suami saya. Pensiunan polisi dengan pangkat terakhir Kombes dan mengurusi security di perusahaan kami.

Pertemuan pertama, terjadi ketika kami berkunjung ke apartemennya (sebutan rumah single berukuran kecil) untuk berkenalan. Ibu ini ramah sekali, itulah yang ada didalam benak saya. Walau beliau orang Batak, tapi logat Sundanya lebih kental dari Bataknya.

“Kami lama tinggal di Bandung, bahkan anak-anak sampai sekarang sekolah dan bekerja di Bandung”, ujar ibu Eni dengan muka ramahnya sambil menawari saya kue brownies Alamanda yang terkenal itu. Kebetulan beliau baru saja datang dari Bandung. Saya pun tidak menyia-nyiakan untuk membawa kue tersebut ketika ditawarkan untuk dibawa pulang hehehe…

Tak disangka dari awal pertemuan itu, kami ternyata “satu hati”. Pernah suatu waktu ada acara kerja bakti di pasar dengan melibatkan keluarga karyawan perusahaan yang dipimpin oleh External Relation Dept. Saya kebingungan karena tidak memiliki teman. Sedangkan ibu-ibu yang lain sudah bergerombol dengan yang mereka kenal. Hampa rasanya, tapi semua itu sirna ketika saya bertemu dengan Ibu Eni… bukan main gembira sekali hati ini. Kami pun bekerja membersihkan got-got di pasar itu sambil bercanda ria tanpa mempedulikan yang lain. Sampai-sampai pak Sitorus nyeletuk, “Wah, lengket sekali kaya perangko”. Kami pun tertawa.

Di Sorowako, ada kebiasaan memanggil “Ka atau Kakak” kepada yang lebih tua. Begitu juga dengan ibu Eni. Beberapa kali saya bertanya untuk meyakinkan diri, “Jadi saya panggil apa ya? karena ibu kan lebih tua.. bahkkan seumuran ibu saya”, tanya saya suatu waktu. Beliau pun dengan yakinnya menjawab, “Panggil saja kaka, biar lebih akrab”. Cukup lama juga untuk membiasakan memanggil beliau dengan sebutan “Ka”, tapi akhirnya lidah saya pun terbiasa.

Mempunyai teman yang “satu hati” tadi di daerah sepi adalah sesuatu yang berharga. Kami pun semakin akrab. Suatu waktu saya diberi kesempatan mengajar bahasa Inggris untuk ibu-ibu disana. Ka Eni pun datang dengan semangatnya sambil membawa kamus bahasa Inggris.

“Saya deg-deg an Ka, kan saya tidak pernah mengajar”, ucap saya kepadanya. Ka Eni pun meyakinkan saya, “Tia pasti bisa!” begitu katanya. Tak disangka setelah saya usai mengajar, beliau langsung laporan kepada ibu CEO kita yang baru saja tiba. “Wah bagus sekali Tia ngajarnya… bahasa Inggrisnya jago Ka” kata Ka Eni, yang membuat saya malu. Padahal menurut saya sih biasa-biasa saja.

Setelah itu, setiap beliau menelpon saya selalu diawali dengan,”Good morning my teacher” atau “Hello my teacher”. Candaannya membuat saya tersenyum-senyum.

Yang membuat saya heran kenapa saya bisa cocok dengan beliau ya? beliau enak sekali diajak bicara, juga bergosip. Bisa menjadi teman, juga seorang ibu. Pasti anak-anaknya sangat bahagia dan bangga bisa mempunyai seorang ibu seperti ka Eni.

Suatu hari ibu dan ayah saya berkunjung ke Sorowako. Mereka pun mampir ke rumah kami. Mereka mengobrol tanpa ada kesungkanan, bercerita tentang kampung halaman, dimana pak Sitorus yang berasal dari Medan dan ayah saya juga besar di Medan. Sedangkan karena merasa dekatnya, ibu saya dan ka Eni pun sempat berenang bersama di danau Matano yang indah.

Pertemanan kami tidak berhenti, walau pak Sitorus keluar lebih dulu dari perusahaan nikel itu dan kembali ke Jakarta, tapi ka Eni tetap rajin berkomunikasi dengan saya, apalagi kode area telpon line di perumahan kami masih Jakarta.

Ketika kami juga sudah tidak tinggal di Sorowako lagi, waktu itu mas Agam akan ke Inggris, kami sempat mengadakan pertemuan. Si Opung Sitorus pun menggendong Nawal dengan sayangnya. Kebetulan waktu itu beliau belum memiliki cucu.

Hingga detik ini kami pun masih menjalin komunikasi. Terakhir saya telpon kerumahnya untuk membicarakan sesuatu.

“Halo, bisa bicara dengan hmmm…ibu Eni?”, kata saya.

Terdengar yang mengangkat seorang laki-laki, saya pikir si Opung tapi ternyata bukan.

“Dari siapa ya?”, jawab laki laki itu.

“Tia”, jawab saya.

“Oh…ma..mama…ada telpon dari tante Tia”,…hihihi…gubrak!!

Tante…padahal saya tahu laki laki yang mengangkat telpon saya tadi adalah anak ka Eni yang tiga tahun lebih tua dari saya. Saya tidak bisa menahan tawa. Anak laki-laki ka Eni itu pun tidak salah memanggil saya dengan sebutan tante, karena terbiasa memanggil teman mamanya dengan sebutan “tante”.

Saya bilang ke Ka Eni, “Next time jangan panggil tante ah. Justru saya yang harus panggil abang ke dia hehhe”…Kami pun tertawa.

Sungguh pertemanan yang unik, tidak menyangka bisa punya teman dekat yang seumuran ibu saya. Semoga pertemanan ini bisa langgeng tanpa diembeli perbedaan suku, umur dan agama.

Dedicated to ka Eni…
24-10-2008