Transparansi Industri Pertambangan

Transparansi Industri Pertambangan
Agam Fatchurrochman
Pengamat Pertambangan.
Akuntan spesialisasi sektor publik dan sosial.
Tabloid Ekonomi & Bisnis Kontan No. 24, Tahun X, 20 Maret 2006

Tuduhan lama itu datang lagi. Industri pertambangan kembali dituduh tidak memberikan bagi hasil yang adil, terlibat korupsi, yang ujung-ujungnya seruan meninjau ulang berbagai kontrak yang berlaku. Bahkan terakhir terdengar ketidakpuasan atas keterbukaan informasi produksi, lingkungan, pajak dan dividen dari satu perusahaan dimana Pemerintah adalah pemegang saham minoritas. Bagaimana mungkin Pemerintah sebagai regulator dan pemegang saham mengeluhkan hal itu?

Industri pertambangan, disebut juga industri ekstraktif sebenarnya adalah industri yang highly regulated, melebihi pengaturan industri lainnya sebagai konsekuensi dari Hak Penguasaan Negara berdasarkan UUD 1945 (Abrar, 1999). Konsekuensinya adalah banyak sekali peraturan yang harus dipenuhi, dari yang khusus seperti Pokok Pertambangan, berbagai PP, Keppres, Kepmen sampai SKB, maupun yang mengatur bisnis secara umum.

Tetapi sebagian besar keterlibatan pemerintah, baik pusat maupun daerah, juga dapat ditemukan pada industri lainya. Yang seringkali membedakan adalah karakteristik daerah operasi yang terpencil serta hubungan dengan masyarakat sekitar, terutama tanah dan tenaga kerja, yang menjadikan kebutuhan akan pengamanan mencuat dan rentan disorot dari segi HAM maupun suap.

Tangan Pemerintah di Semua Tahap
Keterlibatan penuh Pemerintah di semua tahap usaha pertambangan secara filosofis berdasarkan pada UUD 1945 (Pembukaan dan Pasal 33) yang kemudian dijabarkan pada UU Pokok Pertambangan 11/1967 (Abrar, 1999). Berdasarkan dasar hukum tersebut, maka dalam melaksanakan Hak Penguasaan Negara, negara melakukan usaha Mengatur, Mengurus dan Mengawasi usaha pertambangan yang tujuannya adalah melindungi sumber daya pertambangan dan memastikan sebesar-besarnya hasilnya untuk kemakmuran rakyat.

Tidak hanya Pemerintah yang terlibat, DPR pun dilibatkan dengan berkonsultasi dalam persetujuan kuasa pertambangan bahan galian strategis (golongan a) atau PMA (UU 11/1967) atau pun pemberitahuan kontrak kerja sama migas yang sudah ditandatangani (UU Migas 22/2001).

Dalam pelaksanaanya, keterlibatan pemerintah sudah dimulai dari awal sekali. Ketika suatu perusahaan ingin melakukan penyelidikan umum, eksplorasi, eksploitasi penutupan, masalah lingkungan, sosial, sampai tenaga kerja dan kegiatan lainnya yang menyangkut kepentingan umum, berbagai ijin harus diurus.

Setelah beroperasi, RKAB (Rencana Kegiatan dan Anggaran Belanja) untuk tahun depannya harus didiskusikan di Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM), dengan menyertakan instansi terkait. Dalam penentuan target produksi misalnya, DESDM meninjau dari segi teknis, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) meninjau dari daya dukung lingkungan, pemerintah provinsi dan kabupaten meninjau dari kontribusi keuangan maupun kesempatan bekerja dan berusaha bagi masyarakat setempat. DPRD bahkan sering mengundang untuk menyampaikan realisasi dan prediksi kontribusi keuangan ke APBD.

Perusahaan juga harus menyampaikan laporan pengelolaan lingkungan kuartalan (RKL-RPL) kepada KLH, DESDM dan pemerintah daerah. Selain itu, secara reguler mine inspector dari DESDM dan Dinas Pertambangan daerah maupun environment inspector dari KLH, Bapedalda dan Dinas Lingkungan Hidup daerah selalu mengecek data yang dilaporkan.

Rekomendasi perbaikan yang diterima selalu dilaksanakan karena sangat berhubungan dengan license to operate, selain menjaga social license (citra dan hubungan dengan masyarakat dan stakeholder lainnya) jika ditemukan pelanggaran.

Transparansi Mengurangi Kecurigaan
Meski pemerintah terlibat di semua tahap, masyarakat masih saja curiga terhadap industri ekstraktif. Disamping kurangnya kepercayaan terhadap pemerintah, sebenarnya juga karena kurang transparannya industri ekstraktif.

Logikanya sederhana, transparansi (terutama nilai tambah ekonomi) industri ekstraktif akan mendorong akuntabilitas industri itu sendiri maupun pemerintah. Dalam penyusunan APBN/D misalnya, DPRD dapat menggunakan transparansi nilai tambah ekonomi itu untuk menajamkan Millenium Developmen Goals. Sedang masyarakat dapat menggunakannya dalam mengkritisi APBN/D.

Saat ini terdapat berbagai inisiatif internasional untuk meningkatkan transparansi industri ekstraktif. G8 misalnya menelurkan rencana aksi Fighting Corruption and Improving Transparency, termasuk di industri ekstraktif. Uni Eropa, Bank Dunia dan IMF juga mempunya inisiatif yang mirip.

Kalangan LSM Eropa pada tahun 2002 membidani koalisi “Publish What You Pay” yang sekarang mempunyai lebih dari 200 anggota di sekitar 33 negara. Kalangan LSM ini berhasil mendorong Pemerintah Inggris meluncurkan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) pada tahun 2002 dan sampai saat ini EITI-lah yang paling banyak dikampanyekan oleh LSM.

Sayangnya berbagai inisiatif diatas tidak bersambut. Selain sifatnya sukarela, industri ekstraktif merasa tidak nyaman karena jika membuka informasi nilai tambah ekonominya, hanya cercaan yang didapat. Karena itu agar industri ekstraktif mau dengan sukarela transparan, inisiatif ini harus menguntungkan secara bisnis, dan lebih khusus lagi memenuhi syarat sebagai business case for social responsibilty, yaitu perusahaan memperoleh nilai tambah ekonomi dan sosial dari keterbukaan, selain sebagai risk management tools.

Secara sederhana, hal ini dapat dilakukan dengan, pertama, menjadi perusahaan publik di bursa saham Indonesia, dan, kedua, melaporkan kinerja ekonomi, lingkungan dan sosial (triple bottom line) sesuai dengan Sustainability Reporting Guidelines.

Dengan terbuka di pasar modal, perusahaan tambang akan mendapatkan dana segar yang bisa digunakan ekspansi maupun mempersehat struktur pembiayaan. Konsekuensinya, terdapat kewajiban biaya cukup besar maupun memenuhi ketentuan pasar modal. Perusahaan terbuka misalnya harus memenuhi berbagai ketentuan, misalnya, good corporate governance, membuat laporan tahunan dan keuangan dan pengungkapan informasi signifikan lainnya, dan audit independen. Belum lagi jika perusahaan tersebut juga terdaftar di bursa Amerika Serikat, ketentuan Sarbannes-Oxley yang ketat juga harus ditaati.

Jika Pemerintah menjadi pemegang saham perusahaan pertambangan yang terbuka, diharapkan tidak akan terjadi lagi kebingungan diantara instansi Pemerintah mengenai deviden yang diterima (Kontan, 20 Februari 2006).

Sayangnya, dari banyak perusahaan tambang PMA di Indonesia, hanya PT Inco Tbk yang menjadi perusahaan publik. Sementara dari dalam negeri, perusahaan tambang, termasuk BUMN, cukup banyak yang terbuka, seperti PT Antam Tbk dan PT Timah Tbk.

Sedangkan Sustainability Reporting Guidelines (SRG) mudahnya adalah pedoman pelaporan triple bottom line (CSR dalam bentuk nilai tambah ekonomi, pengelolaan lingkungan dan kinerja sosial) dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Pedoman ini diterbitkan oleh Global Reporting Initiative (GRI) yang disponsori oleh PBB, berbagai dana pensiun, perusahaan multinasional, akuntan publik dan LSM.

Secara khusus GRI mengeluarkan GRI Mining and Metals Sector Supplement yang dikhususkan pada industri pertambangan untuk melaporkan berbagai kebijakan dan realisasinya, seperti nilai tambah ekonomi, seperti pajak, royalti dan segala macam nilai tambah ekonomi ke pemerintah pusat dan daerah, karyawan maupun masyarakat dalam bentuk community development maupun kesempatan berusaha.

Kemudian pedoman tersebut juga mengatur pelaporan beberapa hal yang sering dituduhkan pada perusahaan tambang, seperti pengelolaan lingkungan sampai pendekatan perusahaan dalam masalah sosial, diantaranya komitmen antikorupsi, kebijakan HAM dalam pengamanan, sampai hubungan dengan masyarakat adat.

Meski belum menjadi standar macam International Accounting Standard, keunggulan dari pedoman ini adalah menyeragamkan format pelaporan agar dapat dibandingkan per tahun maupun antar perusahaan dan industri
serta memenuhi syarat sebagai business case for social responsibilty. Diharapkan pedoman ini nantinya akan berevolusi menjadi standar/prinsip yang berterima umum.

Selain itu, SRG juga menyarankan adanya independent assurance (audit), yang dilakukan oleh semacam independent social auditor, dengan menggunakan semacam pedoman audit sosial (misalnya AA1000 Assurance Standard) untuk memastikan kredibilitas dan kualitas pelaporan. Seperti halnya pendapat auditor independen, pendapat social auditor berupa Assurance Statement, dimuat pada bagian akhir Sustainability Report. Dengan demikian Sustainability Report tidak menjadi alat window dressing perusahaan belaka.

Memang cukup banyak perusahaan tambang dan industri lainnya yang melaporkan kinerja CSR-nya, tetapi studi Basalamah dan Jermias (2005) menemukan bahwa pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan di Indonesia cenderung dilakukan tanpa mengikuti standar yang ada dan dilakukan ketika ada ancaman atas legitimasi perusahaan. Sedangkan Chambers et.al (2003) menemukan bahwa CSR website reporting di Indonesia sebagian besar masih seadanya (47,2%, 3-10 halaman), dengan penekanan pada pelibatan masyarakat, lingkungan dan kesejahteraan pegawai. Sampai saat ini, sepengetahuan penulis hanya PT Inco Tbk yang sedang menyusun laporan triple bottom line-nya mengacu ke SRG.

Karena itu demi menghilangkan kecurigaan terhadap industri ekstraktif sudah saatnya transparansi dikedepankan. Jika dilakukan dengan baik, transparansi akan menguntungkan industri tambang, pemerintah, masyarakat dan semua pihak.