Duka cita untuk Masnah, pengasuh Nawal

 

Rasanya seperti petir di siang bolong ketika kabar itu terdengar. Mengagetkan sekali kabar dari seorang rekan di Sorowako kalau Masnah, mantan pengasuh Nawal selama setahun lebih di Sorowako meninggal. Kami belum tahu penyebabnya karena telepon genggam kakaknya tidak diangkat setelah ditelepon berkali-kali.

Masnah, yang mungkin baru berumur 15 tahun, bersama kakaknya, Rina, bekerja di rumah kami hampir dua tahun. Diperkenalkan oleh Laura istrinya Andi Erwin, mereka bekerja sebagai satu paket. Rina membantu secara umum, cuci masa, dsb, sementara Masnah adiknya mengasuh Nawal, memberi makan Nawal yang dari kecil memperlihatkan bakat ngeyel luar biasa.

Jauh-jauh mereka datang ke Sorowako untuk bekerja, karena pekerjaan tentu sulit didapatkan di desa asal mereka. Saya lupa dari mana asalnya, suatu kabupaten hampir 10 jam dari Sorowako.

Rutin bangun jam 5 pagi, setelah subuhan, membersihkan rumah, menyiapkan makan pagi. Jam 7 Nawal mulai dibujuk untuk makan. Digendong kesana kemari, bermain, sambil disuap. Anak Indonesia memang terlalu dimanjakan dibandingkan anak bule yang sejak kecil dibiasakan untuk makan sendiri, didudukkan di high chair, makan bersama anggota keluarga lainnya, supaya mereka tahu bahwa makan itu harus dilakukan di meja makan.

Rekan kami, mixed couple di Birmingham, yang laki-laki orang Bali dan perempuan seorang Brum, dan sempat hidup dua tahun di Bali, sejak kecil membiasakan anaknya makan di high chair. Di Bali mereka mempunyai pembantu, suatu hal biasa bagi keluarga kelas menengah di Indonesia. Di Birmingham, mereka harus hidup sebagai working class, Bapak dan Ibu sama-sama bekerja. Anaknya, Gede William Saputra, biasa dipanggil William, berangkat sekolah dengan Ibunya, pulang sekolah dengan Bapaknya. Setelah pulang, harus makan sendiri.

Keteraturan dan kemauan anak kecil untuk makan barangkali harus dipupuk sejak kecil seperti William. Nawal sejak kecil sudah dimanjakan ketika makan. Akhirnya sampai sekarang makan pagi siang malam harus diuber-uber, disuap dan kadang dipaksa hanya untuk memasukkan sesuap nasi.

Minggu lalu baru saja kami mendengar kabar dari kakaknya kalau Masnah sakit, kencingnya berdarah. Kami menelepon dan berharap supaya Masnah segera sembuh. Selama bekerja di tempat kami, kakak beradik ini sungguh rajin, tidak pernah memperlihatkan perbuatan tercela. Setelah kami pindah, mereka bekerja di keluarga lain dan menurut kabar yang kami dengar, mereka tidak bisa secocok bekerja di tempat kami. Entah mengapa penyebabnya.

Kami tidak tahu bagaimana mekanisme pengobatan bagi warga biasa non masyarakat asli Sorowako untuk berobat di RS PT Inco. Setahu kami tidak ada jaminan kesehatan gratis bagi warga seperti ini. Pemerintah Kabupaten pernah melontarkan janji menggratiskan biaya pengobatan dan pendidikan. Hasilnya? Sejujurnya kami tidak tahu.

Nawal was made in Nottingham, even though he was born in Jakarta. Tapi ketika masih berproses di dalam perut, layanan kesehatan NHS (National Health Service) yang gratis dan universal untuk semua orang dengan visa di atas 6 bulan benar-benar kami nikmati. Mulai dari periksa karena telat haid, periksa rutin, USG, sampai suplemen seperti folic acid, semua gratis kami dapatkan. Tapi memang semua penghasilan masyarakat dipotong national insurance, selain pajak yang tinggi. Itulah esensi welfare state. Selalu ada akses gratis terhadap layanan kesehatan dasar, selain pendidikan. Semua warga Negara dijamin akan hidup di atas garis kemiskinan dengan berbagai subsidi.

Negara kita dalam alam pikiran founding fathers kita adalah negara welfare state juga, yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia, memajukan ksejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Masnah dan Rina hanya bersekolah sampai SMP. Lulus SMP mereka harus pindah kota untuk menghidupi sendiri dan keluarga di rumah. Ketika sakit, siapa yang memikirkan. Sebelumnya, ketika tidak melanjutkan sekolah, siapa juga yang memikirkan.

Duka cita kami untuk Masnah, mantan pengasuh Nawal yang selalu sigap. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun.

Arbitrase Newmont dan Kepentingan Nasional

artikel kedua dimuat di Kompas.

DIVESTASI
Arbitrase Newmont dan Kepentingan Nasional
Rabu, 26 Maret 2008 | 02:27 WIB
http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.03.26.02271520&channel=2&mn=174&idx=174

Agam Fatchurrochman

Pemerintah RI akhirnya mengajukan PT Newmont Nusa Tenggara ke arbitrase internasional setelah berlarut-larutnya proses divestasi sejak dua tahun lalu (Kompas, 3/3). Sinyal yang keluar kelihatan sekali berbeda dengan sinyal akomodasi Perpres No 2/2008 tentang pinjam pakai hutan yang baru dikeluarkan.

Pemerintah sekali lagi diuji untuk menyeimbangkan kepentingan penanaman modal asing dan kepentingan nasional dalam proses ini.

Kepentingan nasional

Orde Baru mengundang penanam modal asing dengan alasan teknokratis: mereka membawa management know-how, sumber daya, teknologi, barang dan jasa, yang akan menggerakkan roda ekonomi.

Secara normatif, politik ekonomi Indonesia mengakomodasi partisipasi penanaman modal asing (PMA) selama pemerintah mampu mengelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Ini berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan Hak Menguasai Negara atas sumber daya alam, di mana negara merumuskan kebijakan, melakukan pengaturan, melakukan pengurusan, melakukan pengelolaan, dan melakukan pengawasan. Mahkamah Konstitusi kemudian dalam beberapa putusannya menegaskan tafsir Hak Menguasai Negara ini.

PMA dalam industri per- tambangan diakomodasi de- ngan perjanjian (kontrak) kar- ya yang mengatur kerja sama antara pemerintah dan kon- traktor pertambangan, yang memerinci semua hak dan kewajiban, termasuk keten- tuan peningkatan kepenting- an nasional (promotion of national interest), di antaranya: pertama, divestasi kepada pihak dalam negeri. Kontrak karya generasi pertama dan kedua mensyaratkan 20 persen dan terus meningkat sampai generasi ketujuh. Lazimnya pemegang opsi utama pembeli adalah pemerintah, dan jika pemerintah menolak dapat ditenderkan ke swasta nasional.

Kedua, peningkatan pengadaan barang dan jasa dari dalam negeri. Ketiga, peningkatan porsi karyawan nasional pada posisi manajemen maupun pelaksana. Keempat, dana pengembangan masyarakat.

Kontrak karya tidak memberikan target tertentu untuk ketiga hal di atas. Hanya saja, dalam kajian tahunan kegiatan dan anggaran, Departemen Energi dan Sumber Daya Alam selalu meminta peningkatan angka dari tahun sebelumnya.

Apakah peningkatan kepentingan nasional dalam industri pertambangan ini sudah memadai? Melihat konteks sentralisasi kekuasaan dan kapitalisme negara Orde Baru saat itu bisa dikatakan sudah optimal.

Dengan kerangka konstitusi yang lebih terdesentralisasi saat ini, perlu dibangun kerangka penciptaan nilai tambah sebesar-besarnya dari industri pertambangan bagi kepentingan nasional tanpa menafikan kontrak yang masih berlaku. Sayangnya DPR sendiri terus-menerus menunda pengesahan RUU Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Divestasi dalam bisnis

Dipandang dari teori organisasi industrial, insentif perusahaan multinasional melakukan divestasi (exit) adalah karena laba rendah, rugi yang disebabkan oleh biaya tinggi, menurunnya permintaan secara permanen, atau masuknya pemain baru yang agresif (Siegfried dan Evans, 1994).

Sebaliknya, asset specifity, misalnya investasi raksasa yang tidak mudah dipindahkan karena lokasi pertambangan yang terpencil, menjadi disinsentif untuk divestasi (Williamson, 1985). Ini mungkin salah satu alasan mengapa Newmont mengulur-ulur proses divestasinya.

Perspektif daur hidup produk memandang divestasi sebagai salah satu pilihan strategis untuk keluar dari industri yang menurun (Benito, 1995). Divestasi adalah salah satu jalan dalam situasi yang penuh ketidakpastian.

Opsi divestasi keseluruhan ini dipakai BP dan Rio Tinto tahun 2003 ketika proses divestasi PT Kaltim Prima Coal macet karena saling gugat antarpemerintah daerah, memilih menjual seluruh sahamnya dan memilih fokus pada proyek lainnya.

Dalam kasus Newmont, karena divestasi sudah dijadwalkan dalam kontraknya, maka seharusnya divestasi diperlakukan sebagai investasi untuk menjaga sustainabilitas bisnis dan bukannya menciptakan konflik.

Konflik dengan pemerintah sebagai regulator maupun pemberi kontrak jelas menyebabkan citra Newmont semakin buruk. Apalagi, ingatan masyarakat atas Buyat belum hilang.

Model keiretsu Jepang, di mana kepemilikan silang anta- ra perusahaan dalam satu grup dari hulu ke hilir (Wan, Hoskisson, Kim, Yiu, 2005), mungkin diacu Newmont dengan menawarkan perusahaan nasional mitranya sebagai pembeli sahamnya atau penyandang dana pemerintah daerah. Tetapi, hal ini tidak bisa dijadikan alasan menghalangi divestasi ke pemerintah daerah.

Model divestasi ke depan

Ketua Indonesian Mining Association Arif Siregar menyatakan, agar kasus seperti ini tidak terulang, divestasi sebaiknya dilakukan melalui pasar modal. Ini patut didukung supaya masyarakat dapat menikmati nilai tambah dan proses divestasi berlangsung transparan dengan tata kelola perusahaan yang lebih baik.

Pasar modal juga memungkinkan masyarakat adat, LSM lingkungan, dan semua pemangku kepentingan menjadi pemegang saham. Dengan menjadi shareholder activists mereka dapat belajar berdebat menentukan arah perusahaan dan pertanggungjawaban manajemen di rapat umum pemegang saham.

Pada akhirnya, kepastian hukum adalah kata kunci industri pertambangan agar bisa merealisasikan potensinya menyejahterakan rakyat. Semua pihak perlu menghormati pilihan arbitrase agar kepastian hukum bisa ditegakkan.

Agam Fatchurrochman Bekerja di bagian External Relations perusahaan pertambangan Indonesia-Kanada 2005-2007; Alumnus FE UGM dan Nottingham University