Benturan Kepentingan Pengusaha-Pejabat, Koran Tempo 22 Desember 2007

Tulisan ketiga di koran tahun ini. tulisan pertama di Koran Tempo

Koran Tempo
Sabtu, 22 Desember 2007

Opini

Benturan Kepentingan Pengusaha-Pejabat

Agam Fatchurrochman,
MANTAN STAF INDONESIA CORRUPTION WATCH

Keluarga Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie dinobatkan oleh Forbes Asia sebagai orang terkaya di Indonesia tahun 2007 (Koran Tempo, 14 Desember). Bersama dengan Jusuf Kalla, Soetrisno Bachir, dan banyak pengusaha lainnya, mereka mewakili fenomena pengusaha yang menjadi politikus dan pejabat publik. Meski mereka selalu menolak pengaitan ekonomi antara jabatan dan bisnisnya, studi di Amerika dan Indonesia menyimpulkan bahwa koneksi politik akan bermanfaat serta menguntungkan perusahaan.

Saat ini perusahaan tidak hanya berkompetisi dalam lingkungan pasar, tapi juga nonpasar. Lingkungan pasar, seperti yang didefinisikan oleh Porter (1980), yaitu kekuatan konsumen, pemasok, produk pengganti dan pemain baru, serta rivalitas intra-industri, menentukan tingkat keatraktifan industri dan bagaimana perusahaan menentukan strateginya. Adapun lingkungan nonpasar, seperti faktor sosial, politik, dan hukum, dengan aktor seperti pemerintah dan lembaga negara lainnya, masyarakat, serta lembaga swadaya masyarakat dan media, juga membuka peluang dan ancaman bagi perusahaan.

Proses pengambilan kebijakan publik melibatkan dinamika antara pengambil keputusan dan berbagai kelompok kepentingan di atas. Karena itu, perusahaan perlu mempunyai strategi politik yang tepat untuk memenangi kompetisi ini (Boddewyn, 1993). Banyak pihak meyakini bahwa perusahaan dengan koneksi politik yang baik akan memperoleh manfaat langsung ataupun tidak langsung, di antaranya keuntungan informasi; akses ke pengambilan keputusan; perluasan pengaruh, citra, dan prestise; serta pengurangan ketidakpastian dan biaya transaksi. Hanya, sulit mengukur keuntungan secara tepat dari koneksi politik ini.

Strategi politik perusahaan ini pada dasarnya terbagi atas empat hal. Pertama, secara aktif memberikan informasi yang menguntungkan perusahaan melalui lobi atau kegiatan lainnya. Kedua, memberikan insentif keuangan, baik legal maupun ilegal, kepada pejabat publik. Ketiga, membuka akses ke pengambil keputusan dengan menempatkan pejabat perusahaan di jabatan publik atau menunjuk mantan pejabat publik sebagai pejabat perusahaan. Keempat, membangun konstituen melalui kegiatan hubungan masyarakat.

Koneksi politik

Studi oleh Hillman, Zardkoohi, dan Bierman (1999) di Amerika Serikat menemukan bahwa strategi akses personal ke pengambil keputusan, yaitu terpilihnya pejabat perusahaan sebagai menteri atau anggota Kongres, menghasilkan manfaat spesifik terhadap perusahaan asalnya. Dengan menggunakan event studies, mereka membandingkan tingkat keuntungan abnormal perusahaan yang pejabatnya baru saja terpilih dengan perusahaan lain dalam industri yang sama dan waktu yang sama. Adanya keuntungan abnormal menunjukkan perusahaan mendapatkan manfaat dari penunjukan itu.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada, Denni Puspa Purbasari (2007), meneliti manfaat koneksi politik bagi perusahaan Indonesia dan menemukan beberapa hal. Pertama, perusahaan dengan koneksi politik kuat berpeluang besar mendapatkan lisensi pemerintah untuk mengimpor bahan mentah. Diduga ini terjadi karena adanya hubungan personal antara pejabat publik dan pemilik perusahaan.

Kedua, perusahaan dengan koneksi politik kuat berpeluang besar menjadi mitra perusahaan multinasional agar dapat memitigasi risiko politik serta memperoleh akses pasar dan proteksi pemerintah. Ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa perusahaan asing memilih mitra lokal karena koneksi politiknya, bukan karena pengalaman pasar atau keuangan calon mitra lokalnya.

Studi ini menyimpulkan bahwa di Indonesia yang mempunyai tingkat korupsi parah, mekanisme ilegal, seperti nepotisme dan suap, merupakan faktor penting dalam berbisnis. Besarnya sumbangan dana kampanye, keanggotaan asosiasi industri, dan lobi tidak terlalu berperan dalam koneksi politik. Kemudian tata pemerintahan yang buruk beserta motif perusahaan untuk memaksimalkan laba secara tidak etis akan membuka peluang korupsi. Perusahaan akan terus mencari koneksi politik sepanjang koneksi tersebut dipandang akan menguntungkan bisnisnya.

Benturan kepentingan

Dalam praktek bernegara kita, potensi benturan kepentingan dalam berbagai tingkatan juga terdapat di Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya banyaknya anggota Komisi Hukum DPR yang berlatar belakang pengacara, sarjana syariah, ataupun mantan polisi/tentara, kemudian ikut menggodok Undang-Undang Advokat dengan memasukkan kepentingan masing-masing. Ini juga terlihat dalam pemilihan pejabat hukum, seperti hakim agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena tidak ada batasan benturan kepentingan yang jelas, praktek di atas masih berlangsung tanpa kontrol berarti.

Padahal kita dapat mengacu pada beberapa kode etik profesi, seperti auditor ataupun advokat, atau aturan lainnya, seperti peraturan Badan Pengawas Pasar Modal. Secara sederhana, benturan kepentingan dapat didefinisikan sebagai perbedaan antara kepentingan suatu jabatan dan kepentingan pribadi pejabat tersebut, yang dapat mempengaruhi keputusannya sesuai dengan kewajiban jabatannya.

Presiden pada masa awal jabatannya menyatakan akan menerbitkan keputusan presiden untuk meminimalisasi potensi benturan kepentingan antara para pejabatnya yang berlatar belakang pengusaha dan jabatannya. Sayangnya, rencana ini tidak terdengar kabarnya lagi. Meski demikian, Presiden telah memberikan contoh yang baik dengan mengganti salah satu menterinya. Meski alasannya tidak disampaikan secara terbuka, diduga terkait dengan kasus dana Tommy Soeharto di Bank Paribas, dengan benturan kepentingan yang nyata ketika menteri tersebut memberikan pendapat hukum terhadap surat dari firma hukum yang merupakan miliknya sendiri.

Karena itu, meski tinggal dua tahun lagi menjabat, Presiden perlu menepati janjinya dengan menerbitkan keppres yang mengatur soal benturan kepentingan pejabat publik.